Nenggewe - Cerita Rakyat Inanwatan

NENGGEWE (Versi Inanwatan)



Pada zaman dahulu kala di desa Bedare, hidup satu keluarga yaitu keluarga Bapak Ninggewe dan istrinya yang bernama Durene. Mereka hidup dengan kedua anaknya laki-laki dan perempuan. Niggewe bila diartikan adalah abunawas atau suka menipu. Niggewe bersama keluarga membangun rumah sebuah panggung. Pada suatu ketika Niggewe sedang berjalan-jalan, lalu ia mendengar suara anjing sedang menggonggong babi, kemudian ia segera berlari ke rumah untuk mengambil tombak, kemudian anaknya mengambilkan tombak untuknya. Namun ketika anak itu hendak turun memberikan tombak kepada ayahnya, tiba-tiba ia terjatuh dan tombak yang dipegangnya melesat menikam ayahnya (Niggewe). Kemudian Niggewe terjatuh di bawah tangga rumah, dan beralasan mati, namanya juga abunawas. Kemudian Durene dan kedua anaknya menguburkan Niggewe di bawah tangga rumah. Lalu mereka menyimpan barang-barangnya, termasuk api. Pada pukul empat sore Durene berjalan bersama kedua anaknya. Malampun tiba, akhirnya Durene bersama kedua anaknya berlindung di bawah pohon beringin, kemudian mereka menyalakan api untuk tidur. Tidak lama kemudian durene mendengar bunyi kentut dan batuk di sebelah bandar kay. Perasaan Durene memastikan bahwa yang datang tersebut adalah Niggewe. Niggewe pasti bertujuan untuk membunuh dirinya dan kedua anaknya pikir Durene. Kemudian Durene membangunkan kedua anaknya dengan perlahan dan segera berjalan menuju sungai katamo. Dipinggiran sungai Katamo ada kayu besi yang tumbang dan tenggelam. Kemudian Durene menginjak ujung kayu besi itu dan ia berbicara dengan bahasa Bedare yaitu, “hae-hae,hae-hae artinya tete-tete, nene-nene kemudian kayu besi yang tenggelam timbul dan melintang pada sungai Katamo. Selanjutnya Durene membuka kedua cincinya dan meletakkannya di atas kayu itu. Tiba-tiba cincin tersebut menghilang, dan itu pertanda bahwa kayu besi telah mengambilnya.
Durene bersama kedua anaknya menyeberangi sungai Katamo, pada saat mereka bertiga sampai di seberang kayu tersebut segera tenggelam kembali. Pada saat itu sudah jam dua belas malam.
Ninggewe bangun dari tempat tidurnya kemudian bergegas mencari istri dan kedua anaknya. Ternyata mereka telah pergi. Niggewe mengambil cicin tali, dua dan dibawa untuk diberikan kepada kayu besi itu agar mau memberikan jalan untuknya. Setelah itu ia mengucapkan kata-kata, “Hae-hae, Hao-hao” dan timbulah kayu itu, lalu diletakannya cicin diatas kayu besi. Namun kayu itu tidak mau menerima pemberiannya. Akhirnya kayu besi tersebut terbelah dua di dalam air. Tanpa menunggu lama Ninggewe menyeberangi sungai Katamo itu. Sampai di pertengahan, kayu tersebut terputus dan menjepit Ninggewe kemudian tenggelam dan hilang.
Dureno bersama kedua anaknya menyaksikan kejadian tersebut hingga berakhir dengan menghilangnya Ninggewe. Kemudian merekapun segera melanjutkan perjalan hingga tengah hari dan tibalah kini mereka di kampung baru (Kais).
Di kampung tersebut Dureno bersama kedua anaknya membangun sebuah rumah dan tinggal bersama-sama hingga turun temurun. Para penduduk kampung Kais beranggapan bahwa mereka berasal dari desa Bedare. Yang menjadi bukti ceritera rakyat ini adalah bekas kayu yang dibakar dan kayu yang dipakai saat menyeberangi sungai Katamo.
West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter