Manusia Berbadan Ular - Cerita Rakyat (Versi Wandamen)

MANUSIA BERBADAN ULAR
(Versi Wandamen)


Ada suami istri tinggal di tepi hutan dekat sebuah teluk. Kerja suami istri itu berkebun dan menangkap ikan.yang dilakukan secara bergantian. Kalau suami pergi ke kebun, menanam jagung, menanam ubi, menanam sayur, atau memukul sagu,maka istrinya pergi ke pantai mencari kulit loka, sebangsa tiram yang besar. Sedangkan kalau suami pergi ke laut menangkap ikan, istri pergi memungut hasil kebunnya atau mencari kayu bakar.

Pada suatu hari pergilah si istri membelah kayu bakar di hutan. Hari sangat panas waktu itu, sehingga membuatnya sangat dahaga. Tenggorokan terasa kering. Maka kesana kemari dicarinya air namun belum juga ditemuinya. Dahaganya hampir tak tertahankan lagi.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ular yang menggelesar di semak-semak. Ia terpaku diam, dan si ularpun agaknya terkejut pula. Sejenak ular itu termangu, matanya melihat tajam kepada wanita yang dijumpainya.

Ular itu diam tak bergerak, hanya lidahnya yang bercabang menjulur-julur dari mulutnya, dan ular itu pergi. Ternyata di dekat ular termanggu itu ada sebuah mata air, yang jernih. Ular itu habis minum tampaknya. Kini hilang debar hatinya akan ular itu, dan segera diminumnya air tersebut sepuas-puasnya.

Wanita itu pulang membawa kayu bakarnya dan setiba di rumah diceritakan kepada suaminya betapa hausnya ketika membelah kayu di hutan. Didapatinya mata air, karena itu ia dapat minum sepuas-puasnya.

Suaminya bertanya, apakah air yang diminumnya jernih. Istrinya menjawab bahwa air itu jernih, dan di ceritakan pula bahwa ia telah dikejutkan oleh seekor ular yang menggeleser, agaknya habis minum pula di mata air yang sama. mendengar tambahan cerita itu terperanjatlah suaminya, dan timbullah marahnya kepada istrinya, mengapa minum dari mata air bekas di minum ular itu. Istrinya menegaskan sekali lagi, kalau hausnya hampir-hampir tak tertahan.

Waktupun terus berlalu, ternyata kini istrinya hamil. Bulan berganti bulan, genaplah masanya istrinya bersalin. Tentu saja kegembiraan berlimpah-limpah,karena anak yang akan dilahirkan anak yang pertama. Si suami mengharapkan seorang anak laki-laki yang tampan, tempat tumpahan kasih sayang dan kebanggaan orang tuanya.

Alangkah jauh selisih harapan dan kenyataan yang diterimanya. Bayi yang dilahirkan lain dari pada yang lain, benar roman si bayi tampan, tetapi ia berbadan ular dan bersisik. Menyesal dan kecewa, tetapi apa hendak dikata, begitulah kiranya kehendak yang Maha Kuasa. Suami istri itupun menerima nasibnya dengan sabar. Anak mereka itu diberi nama Srowa Srimamur, artinya manusia setengah ular. Si suami berpesan kepada istrinya agar anaknya tak usah dibawa-bawa ke luar.

Setelah beberapa tahun kemudian, Srowa Srimamur tumbuh mrnjadi dewasa maka ia memohon kepada ibunya untuk dapat mengajaknya ke luar dan melihat-lihat alam sekitar. Ibunya tak sampai hati membiarkan anaknya terkurung dalam ruangan siang dan malam. Maka suatu ketika saat suaminya pergi ke hutan, dibawanya Srowa Srimamur ke pantai teluk, mencaro lokan. Sementara si ibu mencari lokan sepanjang pantai, Srowa Srimamur bermain-main di batang pohon Bitanggor yang menjulur di atas laut.

Ketika Srowa Srimamur bertengker di sebuah cabang yang daunnya lebar, lewatlah di bawahnya tujuh belas gadis mengayuh perahu. Mereka mengikat sehelai lenso merah dikepalanya sehingga bertambah manis. Perahunya dihiasi dengan kulit tiram putih. Paduan merah putih tampak indah dan serasi. Tergeraklah hati remaja Srowa Srimamur, maka berdendanglah menyayikan dendang rindu, merindukan seorang dara kekasih hatinya. Suaranya merdu, menggema dan berpadu dengan derai ombak memecah pantai.

Ahai, di antara gadis dalam perahu itu ada yang jatuh hati pada Srowa Srimamur, terpesona akan kemerduan suaranya, dan lebih terpesona lagi melihat betapa tampan pemuda yang menyanyikan; hanya tak diketahuinya badan Srowa Srimamur yang terlindung oleh daun-daun Bitanggor yang lebar, ya , badan ular itu.
Dara berlenso merah di atas perahu berhias kulit lokan putih itu melancar terus makin jauh; sehingga hanya tampak paduan warna merah putih, warna yang indah, warna yang mengagumkan hati Srowa Srimamur. Ia terlena, kendurlah lilitan badannya pada cabang tempat melilit, dan terjatuhlah ia. Ketika itu ia terjatuh di atas sebuah lokan besar, yang sedang menganga mencari mangsa. Kedua keping kulit lokan besar itupun menutup dengan seketika, Srowa Srimamur akhirnya terjebak.

Tujuh belas gadis berlenso merah dengan perahu berhias kulit lokan putih sampai di rumah. Seorang dari padanya menceritakan kepada kawan-kawannya bahwa ia sangat tertarik dan mau diperistri oleh pemuda tampan yang berdendang di sebuah pohon Bitanggor di teluk. Maka sepakatlah mereka mencari rumah pemuda itu. Pergilah mereka kepada tetangganya, pemukul sagu, yang berjumlah sembilan belas orang. Oleh karena yang dicari sedang pergi, merekapun menangguhkan usahanya itu.

Ketika itu sembilan belas orang pemukul sagu sedang memukul sagu di paya-paya dekat teluk. Setelah hari siang pulanglah mereka, dan tak sengaja lewat teluk tempat lakon besar yang telah minjebak Srowa Srimamur. Diangkatnya beramai-ramai ke rumahnya lokan besar itu. mujur sekali hari itu, mereka mendapatkan lokan besar untuk lauk yang sedap.

Sesampainya di rumah, dibukanya lokan itu dan mereka siap memotong-motongnya, tetapi Srowa Srimamur meminta belas kasihan mereka agar jangan menyembelihnya  Kesembilan belas pemukul sagu itu tak mempedulikan, sebab menyangka Srowa Srimamur sebagai binatang lokannya. Jadilah ia disembeli dan dimasaknya. Kemudian dimakannya beramai-ramai. Apa yang terjadi ? Sembilan belas pemukul sagu itu terkapar di tanah dan mati.

Ibu Srowa Srimamur setibanya di rumah ia sangat bersedih hati, sebab ternyata anaknya belum juga pulang. Dicarinya kemana-mana dan bertemulah ia dengan tujuh belas gadis berlenso merah yang juga sedang mencari Srowa Srimamur. Akhirnya mereka bersama-sama mencari ke rumah para pemukul sagu. Dijumpainya di situ sembilan belas orang terkapar, sedang di sampingnya terdapat belangga yang masih berasap. Setelah ditengok, alangkah ngerinya. Kepala Srowa Srimamur masih terapung-apung dalam kuah di dalam belangga. Betapa terkejut ibu Srowa, ia menjerit dan tak sadarkan diri, sedangkan gadis yang telah jatuh hati kepada Srowa pun tak bisa lagi menahan air matanya.

Begitulah akhirnya nasib Srowa Srimamur. Kata orang sekarang di Manokwari masih ada orang yang menyimpan kepala Srowa Srimamur dan bisa menceritakan cerita sedih yang pernah terjadi.


West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Subscribe Our Newsletter