KISAH SEEKOR KUS-KUS DAN SEORANG ANAK
(Versi Bintuni)
Di sebuah desa hiduplah satu keluarga yang berbahagia. Keluarga ini terdiri dari seorang ayah, ibu dan seorang anak laki-laki bernama Kokiyai. Ayahnya bernama Igano dan Ibunya Tuariri.
Mata pencaharian mereka sehari-hari adalah bertani dan berburu. Kokiyai makin lama makin dewasa dan kerjanya hanya bermain-main sambil membantu ibunya di rumah. Tuariri selalu giat memintal tali untuk membuat pakaian sedangkan Igano tiap hari berburu ke hutan.
Pada suatu hari Koriye (alat penenun pakaian) Tuariri jatuh ke kolong rumah. Disuruhnya Kokiyai mengambil dan memberikannya melalui celah-celah lantai. Tuariri pada saat itu tidak menyadari bahwa pakaiannya tidak teratur sehingga barang yang paling berharga padanya terlihat oleh Kokiyai. Ketika Kokiyai melihat barang yang paling berharga itu timbulah keinginannya untuk berbuat mesum. Rupanya ia telah digoda oleh setan. Sesampainya di rumah, ia merengek-rengek seperti meminta sesuatu. Mula-mula Tuariri memberi panah namun ditolak oleh Kokiyai. Kemudian diberikannya benda-benda yang ada disekitarnya namun semuanya ditolaknya pula. Tuariri menjadi bingung dan berfikirlah ia sejenak. Rupanya pada saat Tuariri berfikir itu ia telah tergoda pula oleh setan, lalu dibukanya pakaian sambil berkata, “Mau inikah, mau inikah, mau inikah?” Kokiyai menjawab, “Ya ibu, itu yang saya mau.”
Setelah selesai, sambil menangis ibunya berkata, “Anakku, perbuatan terkutuk, janganlah kita ulangi lagi.”
Kata Kokiyai pula, “Maaf ibuku, aku sangat menyesal. Marilah kita berjanji tidak akan mengulangi lagi.” Ibunya duduk termenung sambil memikirkan Igano. Ia merasa berdosa dan sekali waktu akan memberitahukannya kepada Igano.
Pada suatu hari timbullah keinginan Kokiyai untuk berburu. Tetapi ia sendiri belum tahu bagaimana caranya berburu. Keinginannya itu disampaikan kepada ibunya dan ibunya sangat setuju dan berjanji akan menyampaikannya kepada ayahnya.
Hari telah malam, mereka menantikan kedatangan ayahnya. Di depan rumah jangkrik mengerik menandakan malam hampir tiba. Kokiyai dan ibunya tetap memandang ke arah jalan ayahnya berangkat tadi pagi, Namun tidak berapa lama kemudian kelihatannya Igano pulang dengan membawa seekor babi hutan. Kokiyai dan ibunya sangat gembira karena Igano telah pulang. Babi itu dipotong-potong, sebagian di bakar dan sebagian lagi dibuat dendeng. Setelah masak merekapun makan bersama-sama. Selesai makan, Tuariri menyampaikan keinginan Kokiyai tadi kepada Igano. Igano sangat gembira mendengar keinginan anaknya itu.
Esoknya Igano tidak pergi berburu melainkan menyiapkan alat-alat berburu untuk Kokiyai. Igano memulai pekerjaannya itu sedari pagi hingga tengah malam. Setelah matahari terbit pergilah Kokiyai bersama ayahnya ke hutan. Ibunya pergi menogok sagu. Ia berharap anak dan suaminya sebelum petang telah tiba di rumah dengan membawa babi hutan. Tiada berapa lama akhirnya merekapun kembali dengan membawa hasil buruan berupa babi tambun yang dipanah oleh Kokiyai.
Malam itu Kokiyai mengundang orang-orang dari tempat lain untuk mengadakan upacara adat, karena perburuan itu adalah hasil pertama Kokiyai. Beberapa potong daging dipersembahkan kepada ruh-ruh orang yang telah meninggal. Sisanya deberikan kepada Dewa Matahari yang dipersembahkan pada dini hari.
Selama beberapa hari Igano dan Kokiyai tetap masih bersama-sama berburu ke hutan. Tetapi lama-kelamaan Igano membiarkan Kokiyai pergi sendiri. Ketika itulah Tuariri menyampaikan perbuatan Kokiyai kepada Igano. Igano sangat marah, dicarinya akal untuk membunuh Kokiyai. Oleh sebab itu pergilah ia ke dusun sagu, yang letaknya jauh dari kampung. Ia melihat sebatang pohon sagu yang sedang ramai dikunjungi, burung-burung menghisap madu pada bunganya. Setelah itu pulanglah ia kerumah dan menceriterakan kepada istrinya dan anaknya Kokiyai alangkah senang hati istri dan anaknya mendengar hal tersebut. Kokiyai menyiapkan tangga dan Igano menyiapkan anak panah.
Esoknya, pagi-pagi benar Kokiyai dan Igano telah tiba di bawah pohon sagu. Kokiyai memanjat dan bersembunyi di balik pelapah sagu dan Igono menunggu di bawah.
Setelah matahari terbit berterbanglah burung-burung menuju pohon sagu tempat persembunyian Kokiyai. Sedang asyiknya burung-burung menghisap bunga sagu, ketika itu pula Kokiyai melemparkan panah sambil berteriak, “Iro adee amigao aburenedo.” (Bapak, itu jatuh ambillah).
Ayah Kokiyai mengumpulkan burung-burung yang jatuh. Oleh karena asyiknya Kokiyai memanah burung, lupa ia akan pulang. Ketika hari senja ayahnya berpura-pura memanggil Kokiyai untuk segera turun. Sebenarnya pada saat itulah Igano ingin melakukan niatnya, yaitu membunuh Kokiyai, dengan jalan merebahkan tangga. Igano membiarkan Kokiyai tinggal sendirian di atas pohon sagu. Ketika hari mau malam, Kokiyai teringat akan pulang. Tetapi ketika hendak turun ia sangat kaget, karena tangga sudah rebah. Ia memanggil ayahnya dengan suara keras, tetapi usahanya sungguh sia-sia karena tidak didengar oleh ayahnya. Ia menangis tersendat-sendat, namun tangisnya itu hanya disambut oleh bintang malam. Oleh karena lelahnya Kokiyai memanah, tertidurlah ia diatas pohon sagu.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar Kokiyai bangun dan tiba-tiba ia terkejut karena melihat Esiki (Raksasa) datang menuju tempat Kokiyai.
Esiki itu badanya besar, tegap, rambutnya hitam dan panjang. Matanya besar dan merah terkena sinar matahari. Daun telinganya dibuka lebar-lebar dan matanya liar mencari mangsanya. Dibahunya tergantung sebuah kopiyo (kapak). Esiki telah sampai di bawah tempat Kokiyai berada. Kokiyai berteriak minta tolong, tetapi sia-sia belaka. Esiki mulai menelan air liurnya sambil mengayunkan kopiyonya pada batang sagu itu. Tiba-tiba Kokiyai melihat seekor kus-kus meloncat-loncat dari pohon kepohon menuju Kokiyai berada. Kus-kus ingin mengajak Kokiyai ke pohon beringin di mana kus-kus berada. Disatukan oleh kus-kus ujung-ujung daun sagu lalu merayaplah Kokiyai menuju pohon beringin. Ketika Esiki melihat mangsanya telah pergi dengan kus-kus, marahlah ia, lalu dikejarnya. Kokiyai dan kus-kus sudah mulai lelah, lalu mereka berhenti pada sebuah pohon sagu yang tinggi dan sudah keras kulitnya. Esikipun telah tiba di bawah pohon sagu itu, lalu mengayunkan kopiyonya dengan sekuat tenaga. Tetapi sial bagi Esiki, ternyata Kopiyonya terbelah menjadi dua dan sebagian terpelanting menimpa kepalanya. Esiki terjatuh dan matilah ia. Setelah Esiki mati, Kokiyai dan kus-kus, dengan tenang melanjutkan perjalanannya menuju pohon beringin.
Setelah tiba di pohon beringin, diperlakukannya Kokiyai seperti anaknya. Sejak itu kus-kus dan Kokiyai hidup bersama-sama di pohon beringin.
Pada suatu hari datanglah lima orang gadis bersaudara ke tempat mereka, maksud dari ke lima gadis itu untuk mencari pohon sagu yang sudah berisi. Setelah mereka menemukan batang sagu yang di cari, langsung ditebangnya. Setelah tumbang merekapun kembali ke rumah. Setibanya di rumah, kelima gadis itu mempersiapkan alat-alat penokok sagu.
Keesokan harinya kelima gadis itu berangkat kembali ke tempat penokokkan sagu. Setelah sampai kemudian masing-masing mengambil tugasnya. Di atas pohon beringin Kokiyai dengan tekun mengamati kelima gadis yang sedang giat bekerja. Kokiyai ingin sekali menyapa gadis-gadis itu tetapi ia ragu-ragu. Dengan tidak sabar ia mengambil beberapa biji mangga hutan untuk melempar gadis-gadis itu. Pandangan Kokiyai diarahkan pada gadis yang paling cantik lalu jatuhlah pilihannya pada gadis bungsu. Diarahkannya biji mangga lalu dilemparnya dan persis kena garutu (tempat penapisan) si bungsu. Si gadis bungsu terkejut, diam-diam ia mencari dari arah mana datangnya lemparan itu. Tetapi sayang, usahanya itu tidak berhasil. Oleh karena itu si gadis bungsu melanjutkan pekerjaannya lagi dengan perasaan was-was.
Ketika hari sudah sore, si bungsu yang penuh kesal itu bersama kakak-kakaknya pulang ke rumah. Setibanya di rumah kelima gadis itu lalu makan makanan yang telah dihidangkan oleh ibunya. Selesai makan mereka langsung tidur. Pada malam harinya si bungsu tidak dapat tidur karena ia masih terbayang peristiwa tadi pagi.
Pagi-pagi sekali si bungsu pergi sendirian mendahului kakak-kakaknya dengan mencari si pelempar kemarin. Setelah sampai di tempat menokok sagu si gadis bungsu mengamat-amati sekitarnya. Sementara ia sedang mengamati, kakak-kakaknya telah datang di tempat itu pula. Kokiyai melemparnya lagi dan sekali ini kena pada kepala si bungsu. Ia merasa sakit dan kesal sekali, dan kemudian terus mencari tahu dari mana datang biji itu. Ia sangat kaget ketika melihat seorang pemuda yang gagah duduk di dahan pohon beringin. Si gadis bungsu bingung tidak tahu apa yang hendak diperbuatnya. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya dengan menyanyikan lagu Kori.
“Anando danci rabini amudanedo erawe edo”, (kakak-kakakku, carilah pemuda yang sedang dududk). Kakak-kakaknya heran sekali mengapa adiknya sampai menyanyikan lagu itu. Diantara kakak-kakaknya itu ada yang ingin melihat si pemuda, tetapi tidak tahu tempat persembunyiannya. Si gadis bungsu menunjuk ke arah pohon beringin. Kakak yang tertua kurang percaya bahwa di pohon beringin itu ada seorang pemuda. Ia membujuk adiknya, katanya, “Adikku sayang, tunjukkanlah tempat pemuda yang kau katakan itu Aku berusaha agar pemuda itu menjadi milikmu sendiri”. Si gadis bungsu tetap menunjuk ke arah pohon beringin dan memang betul-betul ada seorang pemuda gagah yang sedang bersembunyi dibalik dedaunan. Mereka memangil pemuda itu untuk turun., tetapi pemuda itu tidak mau turun karena takut kalau-kalau dibunuh. Dengan berbagai cara mereka membujuknya tetapi Kokiyai tetap tidak mau. Kelima gadis itu mengancam dan berkata, “Kalau engkau tidak mau turun, segera kami akan memotong dan membakar pohon beringin ini.
Ancaman ini merupakan suatu hal gawat bagi Kokiyai. Dalam keadaan gawat ini kus-kuspun tidak ada di tempat pula, ia sedang mencari makanan di tempat jauh.
Kokiyai tetap tidak mau turun. Mulailah mereka memotong dan memasang api. Beberapa saat kemudian pohon beringin tumbanglah sedang Kokiyai tidak mendapat cidera apa-apa.
Kelima gadis itu memaksa Kokiyai untuk ikut mereka ke tempat penokokan sagu. Di tempat penokokan sagu mereka mengajak Kokiyai agar ia mempersunting adiknya. Kokiyai mula-mula menolak, tetapi akhirnya ia setuju dan memang itulah yang diidam-idamkannya. Pernikahan adatpun berlangsunglah.
Sementara mereka melangsungkan pernikahan adat, tiba-tiba muncul lima orang pengintai perang dari desa lain. Karena pengintai-pengintai ini takut kalau-kalau rahasia diketahui musuh, dipaksanyalah Kokiyai bersama kelima gadis itu mengikuti mereka.
Kokiyai dan kelima gadis itu memberontak. Mau tidak mau para pengintai itu harus menumpas mereka. Perkelahianpun terjadilah dengan serunya.
Para pengintai itu memusatkan pukulannya kepada Kokiyai dan tidak berapa lama kemudian matilah Kokiyai. Setelah Kokiyai mati, kelima gadis itu ditawan dan dibawa lari oleh para pengintai ke desanya.
Senjapun tiba, kus-kus telah pulang dari tempatnya mencari makan, namun dari jauh ia melihat pohon beringin tempat mereka tinggal telah tumbang. Segera ia menghampiri tempat itu, dilihatnya darah berceceran di sana sini. Di pojok sekali ia melihat sosok tubuh manusia, didekatinya tubuh itu dan kemudian ia membalikan tubuh itu. Sungguh terkejut ia kerena tubuh itu ternyata tubuh Kokiyai. Diam-diam ia naik ke pohon sagu yang tinggi. Kus-kus pergi keujung pelepah sagu yang paling tinggi kemudian ia memandang ke bawah dan… iapun melompat. Lompatanya tepat pada sebongkah batu. Kepalanya terbentur dan keluarlah isi kepalanya (Otaknya) yang kemudian iapun tewas menyusul sahabatnya Kokiyai.