Pahlawan Kacili Kurbesi - Cerita Rakyat Raja Ampat

PAHLAWAN KACILI KURBESI
(Versi Raja Ampat)



Dahulu kala hidup sepasang suami isteri di daerah hulu sungai Weigie, daerah teluk Kaboei, Waigeo. Yang laki-laki bernama Nyaman dan perempuan bernama Kasei.
Pada suatu hari Nyaman menemukan enam butir telur di bawah sebatang pohon besar. Ia membawanya pulang ke rumah. Kepada isterinya ia berpesan untuk merebus telur tersebut, tetapi isterinya selalu lupa sehingga Nyaman marah dan menyuruh isterinya membiarkan telur itu busuk. Setelah empat hari telur itu terlupakan, keduanya mendengaar suara orang berbicara perlahan-lahan di dalam bilik, tempat telur itu terletak. Dengan hati-hati suami isteri itu mengintai ke dalam bilik, tetapi keduanya tidak melihat sesuatu. Mereka tahu benar bahwa suara itu datang dari dalam bilik. Diambilnya telur yang ada di sana dan ditempatkan di atas nyiru tua dan ditutup dengan kulit pohon.
Selang empat hari maka menetaslah sebutir telur dan keluar seorang bayi laki-laki. Demikianlah tiap empat hari telur itu menetas, sehingga lahir empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Sebutir telur ternyata tidak menetas dan hingga kini masih ditemukan oelh penduduk yang betempat tinggal di tepi kali Waigie. Nama keempat anak laki-laki itu berturut-turut: Laut, Mankasim, Bis (johar), dan Malabang. Perempuan bernama Pintakei. Atas hadirnya anak itu, suami isteri tersebut menjadi sangat gembira dan memiaranya sebaik-baiknya. Diadakan pesta besar-besaran dengan mengundang semua penduduk yang bertempat tinggal di sana, guna menghormati kelima bayi ajaib tersebut.
Pada waktu anak itu menjelang dewasa masing-masing memiliki banyak pengikut, karena masing-masing mempunyai keistimewaan. Sekali waktu mereka bermain-main menangkap kura-kura di pulau Wajak dan Sayang, di sebelah barat laut pulau Waigeo. Masing-masing dari keempat saudara laki-laki tersebut menandai kura-kuranya, kemudain kura-kura tersebut dimasukkan ke dalam kolam dekat Jef Tif gugusan Meos Arar, supaya menjadi besar.
Terjadilah pada suatu hari pertentangan antara keempat saudara itu karena soal kura-kura. Satu diantara kura-kura itu mati dan tidak ada yang merasa berbuat salah. Akibatnya mereka salinbg tuduh menuduh. Mereka tidak dapat lagi hidup bersama dalam satu rumah, masing-masing memutuskan untuk hidup sendiri. Begitulah dengan diikuti oleh masing-masing pengikutnya mereka berlayar meninggalkan tempat kelahirannya. Laut dengan pengikutnya menuju teluk Maija-Libit, diemudian hari ia menjadi raja Waigeo; Mankasim membuka daerah Salawati-Utara dan menjadi raja Salawati. Bis menuju ke Misool dan menjadi raja Misool. Sedangkan malabang menuju ke Ceram dan kemudian menjadi raja Kalmoeri.
Diceritakan bahwa raja Waigeo membangun tempat tinggal di teluk Maija-Libit di atas pulau Beo. Siang dan malam para pengikutnya mengadakan pesta, dan suara tifa pada malam hari terdengar oleh orang yang bertempat tinggal di gunung Nok. Raja Nok yang mengepalai suku Amber ingin mengetahui siapa gerangan yang berpesta ria di teluk Maija-Libit. Dikirimkan dua orang ke sana untuk menyelidiki apa yang terjadi. Keduanya kembali melapor bahwa di atas pulau Beo tampak banyak sekali perahu, penuh dengan orang yang memukul tifa. Raja Nok memutuskan untuk melihat sendiri ke pantai. Ia dengan rakyatnya turun dari pantai Nok dan tiba kemudian di pantai maija-Libit. Mereka menyiapkan rakit besar untuk mengarungi teluk, karena tidak mempunyai perahu. Rakit itu sebelumnya didorong beramai-ramai dengan galah sampai di tempat yang dalam dan kemudian terhanyut oleh aliran air.
Kedatangan raja Nok disambut dengan rasa persaudaraan. Setelah satu sama lain saling bertukar pikiran, oleh raja Waigeo diusulkan agar diadakan pertaddingan persahabatan guna mengukur kekuatan. Hasil pertandingan tersebut akan menentukan siapa di antara kedua raja itu yang betul-betul raja, serta yang kalah harus bersedia menjadi taklukannya. Dalam hal ini kedua raja dengan pengikutnya masing-masing akan berhadapan dan kemudian memegang tali rotan panjang yang disiapkan. Apabila satu kepompok tiga kali berturut-turut menderita kalah, harus mengakui kemenangan lawannya dan bersedia takluk kepada si pemenang.
Raja Waigeo sangat cerdik. Ia dengan para pengikutnya memilih tempat di pantai dengan alasan ia penduduk pantai. Sedang raja Nok dan pengikutnya mengambil tempat di atas bukit karena mereka penduduk daerah pegunungan. Dapat dibayangkan bagaimana hasil pertandingan tersebut, mengingat sangat terjalnya pantai di pulau Beo. Hingga dengan mudah raja Nok dan pengikutnya dikalahkan tiga kali berturut-turut. Menurut perjanjian ia dan pengikutnya menjadi bawahan raja Waigeo, dan sejak itu tidak ada cerita lebih lanjut tentang diri raja Nok.
Adapun Bis diterima baik oleh penduduk Misool. Di tanjung Sarawangket yang menjorok pada timur laut pulau Misool ia merapat, selanjutnya melanjutkan perjalanan ke selatan; tiba kemudian di pulau Mustika yang terletak di teluk Tomolol. Di sana pertama-tama ia bertemu dengan penduduk pribumi Misool, orang yang berasal dari Tomolol. Setelah saling memperkenalkan diri bersama-sama dengan penduduk asli ia dan pengikutnya diajak mengunjungi tempat kediaman penduduk asli bernama Tippale. Di tempat itu telah didirikan sebuah rumah yang di dalam bahasa daerah disebut Umsul. Itulah asal mula kata Misool hingga sekarang. Tempat tersebut hingga kini dianggap menjadi pusat Misool, sumber dari segala dongeng di daerah itu. Terdapat di sana sebuah gua yang tinggi dan di atas permukaan laut dan dihubungkan oleh sebuah jalan masuk, di mana terdapat dua buah makam. Di pinggir teluk Tomolol kini kita temui semacam dermaga dari batu yang dibangun di dalam air yang dapat digunakan oleh penumpang mendekati perahuh yang datang. Bengunan itu sekarang diruntuhkan demi keamanan penduduk terhadap serangan air dari laut.
Mengingat persediaan makanan disini sangat terbatas, Bis memerintah seorang bawahannya untuk mencari tempat tinggal baru. Pesuruh itu bernama Kablasa, ia menuju ke arah selatan dan mengadakan hubungan dengan orang dari Gam, minta bantuan makanan. Kedatangannya diterima dengan baik oleh kepala suku Karo bernama Oeb. Kablasa dibantu oleh Etlak, orang dari Gam, membawa pulang sagu yang berlebihan di daerah Karo. Kepada Kablasa disampaikan pesan agar memberitahukan kepada Bis untuk pindah tempat ke Karo. Kablasa menyanggupi. Ia berjanji akan mempertemukan tuannya dengan Oeb di kampung Lilinta. Dalam pertemuan itu akan hadir juga kakak tertua Oeb –Hasan Kacili, yang mempunyai kedudukan sebagai raja di daerah Karo.
Pesan Oeb disampaikan semua oleh kablasa kepada tuannya dan Bis (Johar) setuju menerima tawaran itu. Sebagian anak buah bis tidak mau turut pindah. Mereka tetap tingal di Tippale dan hingga kini anak keturunannya masih menempati daerah itu. Mereka kini terkenal dengan nama Gelet Matjap di Fafanlap, Gelet yang dianggap sebagai tuan tanah daerah itu dan dihormati sebagai Sengadji Matafi (orang baik). Daerah itu sekarang menjadi wilayah Kapitanlaut dari Fafanlip. Bis (Johar) dan pengikutnya tiba di Lilinta dengan selamat. Ia dijemput oleh Oeb, kemudian diantar ke rumah Hasan Kacili, kepala suku. Maka berlangsunglah pertemuan yang mengesankan, penuh persaudaraan. Johar tidak dapat menolak ajakan untuk tinggal di sana, dan membuka perkampungan baru. Sedang Kablasa bersama sisa orang yang berasal dari Waigeo, tinggal bertempat dengan Oeb dan menetap di daerah Karo. Kemudian hari dengan mendapat bantuan dari sultan Tidore, Johar tetap menjadi raja Misool, serta menetapkan Lilinta menjadi pusatnya.
Sementara itu Kablasa makin mempererat persahabatannya dengan Oeb. Ia mengawinkan anaknya laki-laki dengan anak perempuan Oeb. Dan memberikan sebagian hartanya sebagai pembayar maskawin; sebagai imbangannya ia pun memperoleh tambahan dusun sagu yang lebih luas dari besannya. Bahkan oleh Oeb telah diumumkan kepada orang banyak, bahwa dusun sagu tersebut akan menjadi hak milik Kablasa turun-temurun. Banyak orang yang senang, tetapi banyak pula yang tidak setuju dengan keputusan itu. Yang tidak setuju menganggap pemberian itu melebihi batas. Maka tidak mengherankan bahwa setelah Oeb meninggal dunia, terjadilah usaha untuk membatalkan hak turun-temurun itu. Akibatnya banyak anak cucu Oeb yang terbunuh dan hingga kini jumlahnya tidak sebanyak anak keturunan Kablasa.
Untuk mencegah timbulnya ketegangan berlarut-larut, Kablasa dan pengikutnya membuka perkampungan baru, yang terletak di kuala sungai Karo. Disini pun terjadi pertentangan, hingga tiga dari enam Gelet pindah ke Kofotket, daerah tempat itnggal yang sekarang bernama kampung Biga. Sejak tahun 1925 sisa yang lain pun ikut pindah ke Biga, antara lain karena di sana telah dibuka sebuah sekolah desa. Maka habislah pertentangan antara saudara. Yang ada adalah hidup rukun, bersatu untuk maju.
Bagaimana keadaan raja Waigama? Diceritakan bahwa berdasar urutan adat ia termasuk golongan muda. Di sana sebelumnya sudah ada yang menjadi ketua, berasal dari Wawiyai, keturunan keluarga Nyanyet. Ia harus sabar menunggu setelah beberapa tahun menjadi keluarga di Waigama. Kemudian hari ia diangkat menjadi raja pula, untuk melengkapi jumlah Empat, sebagai pengganti salah seorang saudara yang pergi ke Ceram.
Kembalilah kita ke Waigeo, mengikuti cerita Pintakei, adik perempuan dari keempat bersaudara. Konon sejak kecil dara Pintakei tidak mau ketinggalan dengan saudaranya laki-laki. Selain pengetahuan mengurus rumah tangga sebagai ibu, ia mempelajari dengan rajin siasat bertempur dan cara-cara mengatur bawahan. Orang banyak yang menyukainya. Kakaknya masih berpendirian kuno, tidak dapat membenarkan perempuan terlalu maju. Semakin besar, semakin kesal kakaknya memikirkan pekerti adiknya. Berkali-kali adikitu menolak pilihan saudaranya untuk dikawinkan dengan seseorang. Alasannya ia perlu diajak berunding untuk menentukan calon suaminya. Bukan orang lain yang mencarikan. Sebab ia yang akan menjadi kawan hidup selama-lamanya, katanya.
Sikap demikian pada waktu itu tidak dapat diterima oleh saudara-saudaranya. Malam-malam ia menyuruh orang-orang menaiki sebuah rakit besar berbentuk bulat. Pintakei ditangkap dengan paksa lalu diikat, didudukkan di atas rakit. Kemudian rakit tersebut didorong ketengah laut. Air membawanya menurut arus ke arah timur. Begitulah berhari-hari pintakei berada di atas rakit, makan sagu dan ikan asin yang dibawakannya. Akhirnya rakit tersebut terdampar di pulau Noemfoor. Kepala suku setempat segera datang setelah menerima laporan dari penduduk pantai. Pintakei sendiri belum dapat ditanyai. Ia perlu istirahat beberapa hari, sampai kekuatannya pulih kembali. Pendek kata kemudian ia diambil anak oleh kepala suku setempat.
Setelah sembuh Pintakei bersedia menjadi isteri anak Kepala Suku. Ia merasa berhutang budi kepada orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Lagi pula hal itu berarti mengikat tali persahabatan antara Noemfoor dan raja Empat.
Selang dua tahun kemudian kepala suku Noemfoor mengadakan pesta besar. Pesta kelahiran cucunya yang pertama, anak dari Pintakei. Anak tersebut diberi nama Kacili Kurbesi. Sehat dan tampan wajahnya, jadi kebanggaan seluruh keluarga. Seperti ibunya Kacili berotak cerdas dan berkemauan keras. aNak yang sebaya dengan dia, tidak ada yang berani melawannya. Bukan karena ia anak keturunan kepala suku, tetapi di dalam segala hal ia memang merajai seluruh kawan-kawannya. Baik berlari, berenang, memanah, ataupun bernyanyi, mamainkan jari diatas tifa. Darah pemimpin mengalir di dalam tubuhnya. Ia pun mahir berbicara merangkai kata-kata.
Semakin besar-semakin tercurah kasih sayang ibu bapa. Kacili Kurbesi terkenal sebagai pemuda yang patuh dan taat kepada orang tuanya. Apalagi kepada ibunya, yang telah memperanakkannya. Ia tak pernah melakukan sesuatu tanpa seizin setahu ibunya. Sebaliknya ibu yang baik itu pun selalu memikirkan akan masa depan anaknya, Kacili telah cukup dewasa. Ia perlu menambah pengetahuan yang tidak ada di kampungnya. Ia menyuruh anaknya pergi ke Waigeo. Menemui raja Waigeo, bapak tuanya. Menyampaikan kabar keselamatan dirinya serta mencari pengalaman baru. Ia tahu pasti bahwa di tempat yang ramai itu tenaga anaknya sangat diperlukan.
Kacili Kurbesi bertolak ke Waigeo disertai oleh berpuluh orang pengikut. Ia tidak lupa membawa buah tangan, hasil tanah Noemfoor. Bukan main girang hati raja Waigeo menyambut kedatagan kemenakannya. Sudah lama ia mendengar dari orang laut, bahwa di Noemfoor telah muncul pahlawan baru, yang dicintai oleh tua dan muda. Ia kuat berdayung serta pandai memanah. Ternyata pehlawan yang disebut-sebut itu kemenakannya sendiri. Kulit dagingnya sendiri dan kini berada di depan mukanya.
Bersabda raja Waigeo, “cincin yang kau pakai itu benar cincin adikku Pintakei. Ibumu sejak kecil memang keras hati, tetapi betul dan jujur. Sifat-sifat itu kini berpindah kepadamu. Tidak salah ibumu menyuru kau kemari, sebab Moemfoor dan Waigeo tidak berbeda. Di sini pun tempat orang tuamu sendiri.” “Mana yang baik menurut pendapat ayahanda, anakda turut”. “Ha ha ha … Tepat sekali jawabmu. Marilah kita istirahat dahulu. Perjalanan jauh itu tentu melelahkan…”
Kacili berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Tak lama ia pun menjadi tangan kanan raja. Kerap kali ia memimpin peninjauan ke daerah-daerah mewakili raja Waigeo. Tidak sia-sia raja memberi kepercayaan padanya. Sebab beberapa tahun kemudian rakyat Gebe dan Halmahera dengan sukarela bersedia bergabung dengan Waigeo tanpa kekerasan, berkat usaha Kacili. Maka ditempatkan seorang pengaji di Gebe dan sebagian rakyat Gebe pun diminta pindah ke Waigeo. Itulah sebabnya hingga kini terdapat keturunan penduduk Gebe di bagian brat daya Waigeo.
Di dalam perjalanan pulang dari Halmahera ke Waigeo, tidak lupa Kacili berkunjung ke Suiyan (pulau pisang), Bobo, Kofiao, Waigama (pantai utara Misool), pulau penyu serta pulau Salawati. Di Waigama dan Salawati ia menghadap kepada bapak tuanya, raja setempat. Kunjungan yang banyak sekali membawa manfaat. Mengikat kembali tali persaudaraan yang telah lama retak, mengumpulkan kembali keluarga raja Empat. Begitulah atas jerih payah Kacili, persatuan telah pulih antara Waigeo, Salawati, Misool dan Kalmuri. Suatu hasil kerja yang sangat gemilang. Dengan persatuan itu kemudian hari dapat ditaklukan Suiyan. Sesudah diadakan pengepungan bersama dari pulau Boo, pusat kotanya habis dihancurkan. Maka semakin tersohorlah nama Kacili Kurbesi.
Tidaklah mengherankan bahwa sultan Tidore sangat tertarik kepada kepandaian pemimpin pasukan dari Kacili. Beliau telah mengirim utusan khusus ke raja Waigeo, untuk dapat memperbantukan tenaga Kacili Kurbesi, sebagai kepala pasukan Tidore, guna menghadapi perang melawan ternate. Raja Waigeo meluluskan permintaan raja Tidore. Dengan hati bangga kemenakannya direstuinya untuk menggalang persahabatan yang lebih luas di daerah timur.
Demikianlah pahlawan Kacili Kurbesi selaku kepala pasukan Tidore mendekati pusat Ternate, lewat laut. Pada waktu itu prajurit Ternate beratus-ratus orang banyaknya, bersenjata lengkap. Pantai berpagar rapat dengan perahu perang. Jika diserang satu lawan satu begitu saja, tidak urung pasti habis pasukan Tidore. Maklumlah mereka berperang di kandang sendiri. Pasukan bantuan sewaktu-waktu mudah datang. Insyaf akan tanggung jawabnya sebagai pimpinan, serta tugasnya sebagai pembawa amanat raja, timbullah keberanian Kacili yang luar biasa. Semua prajuritnya dilarang memanah atau menembak. Sebab tindakan itu sama dengan menyebar maut, menambah penderitaan rakyat kedua belah pihak. Ia sendiri akan berusaha lebih dahulu. Nanti jika usaha tersebut ternyata gagal, barulah pasukannya diizinkan bergerak.
Sementara itu pasukannya semakin dekat dengan pantai. Kedua belah pihak telah berhadap-hadapan. Siap untuk saling melepaskan tembakan. Perahu Kacili berlayar paling depan dengan mengibarkan panji-panji khusus. Satu perahu saja menghampiri musuh. Sungguh berani dia. Semua pandangan tertuju kepada perahu Kacili Kurbesi. Tiba-tiba meletuplah meriam dari perahu pimpinan itu. Namun bukan peluru yang keluar dari mulut meriam, melainkan tubuh Kacili, melayang melewati barisan perahu, langsung jatuh di halaman istana raja Ternate. Perlawanan pengawal tidak berarti bagi pahlawan muda itu. Semuanya dipatahkan dan ia berhadapan sendiri dengan raja. Ia minta pertanggung jawabnya. Bertanding atau menyerah.
Maka bertambah harumlah nama kesatria daerah Timur itu. Karena pertumpahan darah dapat diatasinya dengan keberanian yang luar biasa. Pertempuran antar saudara sendiri dapat dihindari. Tidore dan Ternate berasatu kembali.
Selang sebulan dari kejadian itu seluruh negeri Tidore diliputi suasana gembira. Pesta rakyat berlangsung di seluruh penjuru. Tak ada kecualinya, tua muda miskin dan kaya. Betap tidak? Waktu itu berlangsung peristiwa yang jarang terjadi. Di istana diadakan upacara, perkawinan antara Kacili Kurbesi dengan Boki Taiba, puteri bungsu sultan Tidore. Raja dan rakyat Tidore sangat berterima kasih kepadanya.
Demikianlah Kacili berhasil mempersatukan penguasa-penguasa daerah, mempererat persahabatan dan persaudaraan suku-suku sebangsa. Namanya tercantum sebagai pahlawan rakyat dari ujung Timur tanah Indonesia. Konon kemudian hari ia mengakhiri hidupnya di tempat tidak jauh dari Saonek, dan dimakamkan di daerah daerah kali Waigie.
Adapun bekas tempat telur semula ditemukan, hingga waktu sekarang masih dihormati. Tempat itu terkenal sebagai “Pusat Waigeo”, berada di hulu kali Waigie, di pinggir teluk Kaboei. Di sana orang akan menjumpai sebuah danau dan terdapat sebuah batu besar di dalamnya. Batu tersebut diselimuti kain putih dalam selubung kelambu dan diawasi oleh geler tertentu berasal dari Wawiyai.

West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter