Mohway - Cerita Rakyat Raja Ampat

MOHWAY
(Versi Salawati Utara)



Mohway adalah nama nenek moyang suku Sawoy. Dalam perkembangannya, Mohway disebut juga Hewuy dan selanjutnya lagi Sawoy. Perubahan ini tidak didasarkan atas perubahan nama keturunan atau makna tetapi hanya pengaruh bunyi. Nama lengkapnya ialah Mohway Mantus.
Mohway mantus bertempat tinggal di sebuah gunung, daerah Salawati Utara, bernama Weisuh. Di situ ada satu mata air yang tergenang berbentuk satu kolam yang cukup besar. Mohway menanam sagu di pinggir-pinggir kolam itu. Di dalam kolam ia memelihara seekor penyu betina yang berwarna putih. Sampai sekarang sagu-sagu itu masih ada, juga penyu tersebut.
Pada suatu ketika Mohway Mantus dan isterinya ingin menggali kolam tersebut agar airnya mengalir ke pantai. Mereka menggunakan dua potong kayu besi yang biasanya dipakai sebagai tongkat. Kedua tongkat itu masing-masing bernama Abli dan Abyauw. Waktu Mantus menggali air itu, abyauw dipegangnya pada tangan kanan dan Abli di tangan kiri. Mereka menggali air itu lima cabang. Cabang yang pertama bernama Weirimsi, cabang kedua bernama Weirimso, cabang ketiga bernama Weigemul, cabang keempat Weironsaib, dan cabang kelima bernama Weirimbo. Lima cabang tersebut pada ujungnya menjadi satu lagi denan nama yang dikenal sekarang kali Weiyom.
Selesai mereka menggali kali Weiyom , Mohway dan isterinya saling bertanya: “Dimana Abli dan Abyauw diletakkan?” Atas persetujuan bersama Abli dan Abyauw ditanam di pinggir pantai pada muara kali Weiyom sebagai bukti kepada keturunan mereka kelak. Tetapi sayang, Abli ternyata mati dan hanya Abyauw yang tumbuh dan masih ada sampai saat ini, yaitu berupa satu pohon kayu besi yang bila mati pasti tumbuh lagi pohon baru di tempat itu sebagai gantinya. Pokoknya, patah tumbuh hilang berganti secara turun temurun. Setelah Mohway dan isterinya selesai menanam tongkat kayu besi itu mereka pulang ke Weisuh. Sedang mereka di tengah perjalanan datanglah sebuah kapal piring. Pemilik kapal piring itu bernama Weiji’eri. Ia berasal dari pulau Waigeo dan datang bersama rombongannya. Weiji’eri ingin mendarat melalui kali Weiyom. Sesampainya di tempat yang bernama Weike di kali Weiyom, kapal piringnya kandas. Kapal tersebut kemudian menjadi batu hanyut dan masih ada sampai sekarang. Mohway bertanya kepada Weiji’eri, “hendak ke mana engkau sekarang?”. Saya datang dari Waigeo dan karena kali ini terlalu indah, saya ingin berlabuh di sini”, kata Weiji’eri. Sebagai kenang-kenangan Mohway memberikan seekor ayang jantan. Diikatnya ayam jantan itu pada sebuah pohon langsat yang bernama Woryus. Pohon langsat Woryut itu masih ada sampai sekarang ini.
Mohway dan Weiji’eri tinggal bersama di Weisuh sebab kapal piring Weiji’eri sudah kandas dan tak dapat keluar lagi. Kapal tersebut sudah membatu dan masih ada sampai sekarang.
Siang berganti malam dan musim pun silih berganti. Pada suatu ketika mereka pergi ke muara kali Weiyom. Tongkat Abyauw sudah bertumbuh. Karena gembiranya, mereka mendirikan sebuah rumah Mon di tempat itu. Selesai rumah Mon itu didirikan, mereka berpesta pora di rumah Mon tersebut. Pesta Mon berjalan dengan ramainya. Tiba-tiba rumah mon itu terbang dengan semua orang yang berada di dalamnya. Mohway sendiri ketinggalan. Rumah Mon melayang-layang di udara. Mohway tak dapat berbuat sesuatu pada saat itu sebab ia sudah kehilangan akal. Ia sangat bersusah hati dan berjalan kian kemari mencari akal untuk menurunkan kembali rumah Mon itu bersama orang-orangnya. Di pinggir pantai tidak jauh dari tempat Mohway berjalan-jalan, tumbuh serumpun bambu yang rindang. “Tidak ada kayu lain yang lebih panjang dari bambu-bambu ini”, pikirnya. Ditebangnya sebatang pohon bambu. Dengan bambu itu Mohway ingin menjolok rumah Mon yang sedang melayang-layang di udara. Ia berusaha menurunkannya tetapi tidak berhasil. Oleh karena terus gagal, Mohway kembali duduk di pinggir pantai muara kali Weiyom. Ia termenung. Pikirannya makin lama-makin kalut. Tak tahu apa yang hendak diperbuatnya. Sebentar-sebantar ia menundukkan kepala, sebantar-sebentar dilemparkan pandangannya ke laut, seakan-akan dari sana datang dewa penolong.
Sedang berada dalam keadaan yang tidak menentu seperi itu, datanglah seorang raja dari Sailolof menghampiri Mohway, “Eh, tete! Apakah tete sendirian di sini? Mari ikut saya!”, tegur raja itu. “Tidak,” sambil menunjuk ke atas ia meneruskan ucapannya, “saya punya orang-orang berada di dalam rumah yang sedang melayang-layang itu. Saya tunggu mereka kembali”, jawab Mohway. “Kalau begitu saya pergi dulu”, kata raja Sailolof sambil meneruskan perjalanannya.
Mohway duduk termenung di tepi pantai. Rumah Mon masih melayang-layang di udara. Lama kelamaan rumah Mon itu tertiup angin dan bergerak ke arah timur laut. Kemudian jatuh di dekat pantai dan menjadi sebuah pulau. Pulau tersebut masih ada sampai sekarang ini dan dikenal dengan nama pulau Lala. Sedangkan bambu penjolok rumah yang digunakan oleh Mohway bertumbuh dan masih ada juga sampai sekarang.
Setelah rumah Mon itu kembali ke bumi, Mohway pergi menjemput orang-orangnya dan kembali ke Weisuh. Dan akhirnya mereka membangun sebuah kampung di Weiyom dan tinggal dengan aman dan damai di sana. Mohway inilah yang menurunkan klen Sawoy di kampung Solol, Waibon dan Kalyam – Desa Yenenas, Kecamatan Salawati Utara (Raja Ampat) Sorong. Sebetulnya mereka itu dulu mempunyai satu kampung saja.

West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter