HEDE TAUO
(Versi Inanwatan)
Tersebutlah Ufwamo seorang lelaki yang bertunangan dengan Dewi Laut. Meskipun Dewi Laut itu telah bersuami dan Ufwamo pun telah beristri, pergaulan mereka semakin intim dari hari kehari. Ufwamo tidak lagi pergi menegerjakan sesuatu pekerjaan di darat sperti menokok sagu, berkebun dan sebagainya. Karena setiap hari ia pergi ke laut, orang sesama kampungnya pun mencurigainya namun tak satupun berhasil mengetahui apa sebabnya. Ufwamo setiap hari ke laut itu. Kehidupan di tempat itu berlalu dengan tentramnya. Orang sibuk bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sehari-hari dan bila hari telah mala kegembiraan berlangsung dengan riangnya.
Pergaulan Ufwamo dengan Dewi Laut itu semakin intim. Pada suatu ketika terasalah pada Dewi Laut bahwa ia sedang mengandung karena itu ia nekad untuk lari mengikuti mengikuti Ufwamo yang telah lama menginginkan beristerikannya. Dewi Laut itupun dibawa ke rumah setelah menjelma dirinya menjadi manusia. Sedangkan istri Ufwamo yang karena sering bertengkar dengan suaminya telah pergi dari rumah itu ke tempat sanak saudaranya. Tentu saja dewa laut sangat sibuk mencari kemana gerangan isterinya. Setelah seluruh bagian dari laut itu dijelajahinya tak juga bertemu dengan isterinya. Maka dewa laut itupun menjelmah dirinya menjadi manusia.
Pada suatu hari berjalanlah ia disepanjang pantai itu sambil mencari isterinya. Lalu bertemulah ia dengan seorang lelaki dan kepadanya ia menanyakan perihal isterinya. Lelaki tersebut hanya mengatakan bahwa ia memang melihat seorang perempuan asing pergi mengikuti Ufwamo ke rumahnya. Dewa laut itu pun mendatangi rumah Ufwamo untuk mengecek tentang kebenaran berita itu. Setelah didapati isterinya benar-benar telah hamil dan hidup serumah dengan Ufwamo, kembalilah ia ke laut lalu menjelmah menjadi seekor kerang laut raksasa. Maka semua orang di tempat itu pun datang berlomba-lomba untuk mengambil daging kerang laut itu. Setiap orang berusaha untuk mendapat begian yang paling besar. Tempat kerang itu mereka gali dan terus menggali hingga tempat itu berupa kolam besar yang dalam.
Tiba-tiba kerang laut itu berubah bentuknya dan menjadi gelombang laut yang sangat tinggi memenuhi kolam yang telah digli itu. Manusia yang berada di situ tak mungkin lagi mencari perlindungan karena telah digenangi air. air kolam itu terus melimpah dan semakin bertambah tinggi. Mula-mula air itu naik hingga kolong rumah tetapi akhirnya mencapai bubungan rumah. Hujan dan halilintar pun sambung menyambung dan air laut itu terus bergelora. Pohon kelapa dan pohon-pohon lain yang tinggi terendam air. orang-orang yang sempat tersangkut pada dahan-dahan terakhir hanya bisa berkata bahwa dirinya menyerupai seekor binatang lalu ia melepaskan dirinya jatuh dan mati lemas. Ada pula yang berkat bahwa dirinya adalah burung kakaktua yang akan segera melepaskan dirinya untuk terbang lalu setelah ia melepaskan dirinya dari pegangan terakhirnya ia tercebur ke dalam air laut yang menggelora itu. Pohon-pohon tumbang dan beberapa bagian daratan putus terbenam ke dalam air, sebagiannya lagi hanya disapu arus. Berhari-hari air bah itu merusak segala sesuatu yang berada di atas muka bumi.
Suasana teduh kembali setelah dewa laut itu bergabung kembali dengan isterinya. Hampir segala manusia dan semuanya yang berada di tempat itu dicerai-beraikan dan dihancurkan oleh air bah itu. Hanyalah seorang laki-laki yang bernama Kekeao dengan anjing betinanya yang selamat karena terapung dalam sebuah perahu dan kemudian setelah air bah itu surut kedua makhluk itu mendarat kembali pada salah satu dusun di sekitar tempat kejadian itu. Sebagian orang tercerai berai ke berbagai tempat didamparkan gelombang air bah itu, sedang sebagian lainnya mati lemas. Kekeao kemudian membangun pondoknya dekat muara sebuah sungai lalu menetap di sanan. Ia kemudian mengawini anjing betinanya. Dari hasil perkawinan mereka, Kekeao memperoleh seorang anak perempuan yang cantik rupanya. Ketiganyalah yang mulai hidup di daerah yang lenggang dan sunyi itu. Menyadari kesepian yang bakal berkepanjangan itu, Kekeao ingin sekali untuk berkumpul dengan orang lain, kalaupun memang masih ada orang yang hidup setelah air bah itu.
Pada suatu hari dikala matahari hendak rembang petang Kekeao memegang busur dan anak panahnya. Menengok ke arah matahari terbenam ia lalu berpesan, “jika masih ada lagi orang lain dari negeri sebelum air bah yang masih hidup niscaya akan menerima pesan yang dibawakan anak panah ini.” Lalu katanya kepada anak panah itu, “ketuklah saudaraku yang tinggal jauh dari sini untuk datang menolongku.: kemudian anak panah itupun dilepaskan ke arah barat mengikuti jalan matahari terbenam. Anak panah itu lalu melesaet ke barat pegi mengikuti jalannya matahari.
Waktu itu memang Kekeao dan anjing betinanya sajalah yang masih hidup dan mendarat kembali pada sebuah dusun sagu tidak jauh tempat atau kampung mereka sebelum air bah. Sedang banyak pulau yang tersebar jauh didamparkan air ke berbagai penjuru. Ada pula dua laki-laki kakak beradik yang terdampar dipegunungan Iha di tanjung Onim, Fak-Fak. Setelah air bah surut, keduanya pun mencari jalan ke tepi laut di sana di sebuah pantai yang bernama Kapartutin kedua kakak beradik menjumpai banyak orang lainnya. Keduanya lalu tinggal disana, dikawinkan dengan perempuan ditempat itu dan mengabdi pada raja Iha yang bernama raja Moi. Raja Moi membangun kembali masyarakatnya dari sisa-sisa rakyatnya sendiri dan orang-orang lainnya yang sempat hidup setelah didamparkan air bah ke tempat itu.
Kehidupan mulai berjalan sebagaimana layaknya. Pada suatu hari raja Moi duduk di serambi rumahnya menatap matahari yang hendak terbenam dibalik pucuk-pucuk cemara di Pulau Panjang yang memanjang membentengi tanjung Onim itu. Tiba-tiba bersama jari-jari sinar matahari yang jatuh mengenai pintu rumahnya sebuah panah tertancap di sana. Agak heran juga raja Moi itu dan orang-orang yang duduk diserambi rumahnya. Raja Moi segera mencabut anak panah itu untuk menelitinya. Lalu ia mengatakan bahwa jauh dari sini di suatu tempat ada seorang saudara yang hidupnya sepi dan sangat melarat. Orang itu harus dibantu. Semua yang hadir turut meneliti anak panah itu. Maka berkatalah kedua kakak beradik yang terdampar di gunung Iha itu, “Tuan, anak panah ini bentuknya mirip benar dengan anak panah di tempat asal kami, kurang lebih dari barat daya negeri tuan raja ini. Izinkanlah kami pergi mencarinya”.
Demikianlah kedua kakak beradik itu dibekali dengan banyak makanan serta perlengkapan lainnya. Dua buah perahu pun ditolakkan ke laut dan keduanya memulai perjalanan mereka. Namun tidak jauh dari pantai perahu yang dikemudikan adiknya mengalami kerusakan. Tali-tali cadiknya terputus semuanya. Karena itu perahunya didaratkan kembali. Sedang yang kakak meneruskan perjalanan. Setelah mendaratkan perahu itu kembali ke pantai ternyata sang adik tidak rela ditinggal sendiri. Maka ia pun mengajak isterinya serta anjingnya untuk menyusuri pantai sambil memanggil kakaknya yang semakin jauh berlayar itu.
Demikianlah kedua suami isteri bersama anjingnya berlari menyusuri pantai untuk memanggil kakak mereka. Kira-kira setelah sehari berjalan tibalah mereka di ujung tanjung Onim itu. Tanpa disadari mereka telah tepat berada di dalam sebuah kerang laut yang saat itu sedang mengangakan kedua kepingnya. Tiba-tiba kerang raksasa itu mengetupkan kedua kepingnya dan ketiga makhluk itu terjerat didalamnya. Bagaimanapun mereka berusaha membebaskan diri, kerang raksasa itu tetap terkatup. Karena perjuangan membebaskan diri itu air dihempas-hempaskan hingga laut bergelora dan pohon-pohon di sekitar daerah itu tumbang semuanya. Hanyalah batu-batu yang sepanjang tahun di dera ombak laut yang masih menandakan ketiga mahkluk yang sedang berusaha bebas dari mulut kerang laut itu. Batu-batu itu menjadi putih dan kerang itu, tempat itu disebut batu putih yang terletak diujung tanjung Onim sebelah barat daya kota Fakfak.
Sementara itu sang kakak semakin dekat pada tujuannya. Pada suatu pagi setelah mendekati darat, terdengarlah sayup-sayup suara yang memanggil Metaaamaoo. Itulah suara Kekeao memanggil isteri anjingnya. Maka segeralah ia mendaratkan perahunya di muara sebuah sungai yang kemudian dinamakan Metemani. Orang dari tajung Onim itu pun menyerahkan bingkisan dari raja Moi di tempat itu lalu terus berlayar ke barat dan menetap di Seget.
Raja Moi masih terus juga mengirimkan utusannya kepada Kekeao di sungai Metamani itu. Putri Kekeao dari perkawinannya dengan anjing itu setelah besar dikawininya. Akibatnya istri anjing itu marah-marah terus sehingga diajar Kekeao. Karena itu sepanjang malam bila bulan lagi purnama anjing itu anjing itu merintihkan sakit hatinya di tanjung yang menjorok di muara sungai Metamani itu, “Kekeaooooo, Kekeaooooooo, Kekeaaaooooo…………!” Suara itu masih terdengar di tanjung itu hingga kini. Dari anaknya itu sendiri, Kekeao memperoleh empat orang anak putri. Anak pertama dikawininya sendiri bersama ibunya. Anak kedua dikawinkan dengan putra raja Moi di tanjung Onim, anak ketiga dikawinkannya dengan raja Tidore di Maluku. Karena semakin banyak orang yang datang dan keturunannya semakin banyak, Kekeao bersama kedua isterinya berpindah ke hulu sungai Metamani. Tiba di sana ia segera membangun rumahnya. Ajing yang tinggal merana itupun meminta pertolongan kepada Dewa Laut. Mendengar perlakuan Kekeao tersebut, dewa laut itu pun ikut mudik hendak menghajar Kekeao bersama kedua isterinya. Di sana ia menggali tempat sekita rumah Kekeao hingga menjadi sebuah rawa besar. Kekeao bersama rumah dan isterinya kemudian tenggelam terbenam dalam rawa itu. Tempat itu sekarang menjadi sebuah telaga mati.
Di muara Metamani itu, ada sebuah pulau pasir terapung yang disebut sebagai taman yang senantiasa berpindah-pindah. Dikala purnama mengembang selalu terdengar rintihan yang mendayu-dayu memanggil. “Kekeaoooooooo, Kekeaoooooooo”, bunyi suaranya. Untuk menghentikan suara itu dan segala akibatnya orang cukup menyebarkan tembakau, sirih, pinang dan sebagainya sambil mengatakan, metae, nihe, Kokeo mome yang artinya sabarlah itu, sebentar lagi Kokeao akan datang. Maka suara memanggil itu akan segera reda. Begitu pula suara memanggil di tanjung batu putih di semenanjung Onim, bunyi akan hilang bila kita menghamburkan tembakau dan siri pinang.
Tempat di sekitar peristiwa air bah itu terputus menjadi pulau-pulau kecil yang tersebar, yaitu pulau Seram dan pulau-pulau Maluku lainnya, pulau pisang, pulau panjang, dan sebagainya. Sedangkan orang Ogit yang berbahasa Ogit terpencar di Ternate, Dobo, Timor (Alor), dan sepanjang pesisir tanjung Onim bagian barat laut dan pesisir barat daya Kepala Burung.