TERJADINYA SUNGAI SIGANOI
(Versi Inanwatan)
Pada mulanya ibu kota Kecamatan Inanwatan terdiri dari hutan kayu dan sagu, dan belum ada sungai kala itu. Manusia zaman Pitecantropus dari Kekeao (kayu Tawire) di dalam kayu yang berlobang itu hidup tiga orang bersama keluarga yaitu; Gebasare, Mewabii, Towii, mereka bertiga masing-masing telah berkeluarga. Pada suatu saat mereka melihat terang di dalam kayu Tawiro, lalu mereka melubangi kayu tersebut dengan tangan, kemudian Gebasare dan Mewabii merencanakan keluar dari kayu itu bersama istri mereka. Sedangkan Towii tidak keluar dari dalam kayu itu, karena pada saat itu istrinya sedang hamil.
Towii hanya memberi pesan kepada Gebasare dan Mewabii bahwa mereka harus menjaga diri baik-baik, karena nanti ia akan menjadi hantu tanah yang siap menggoda mereka.
Kedua orang bersama masing-masing istrinya itu kemudian keluar melalui lubang kayu tersebut. Pertama kali mereka keluar dari dalam kayu itu mereka tidak memiliki kekuatan sedikitpun untuk berdiri namun lama-kelamaan mereka menjadi kuat dan dapat berjalan. Setelah mereka dapat berjalan, maka mereka berjalan menelusuri hutan rimba hingga sampailah mereka di dusun Mugur (sungai Gidawuri).Kemudian melanjutkan perjalan hingga sampai di dusun Erabide.
Sewaktu perjalanan mereka sampai di Simurit, salah satu dari mereka ada yang kehausan, sehingga di diputuskan untuk bersama-sama menggali sebuah sumur, yang kemudian sumur ini dijadikan sebagai sumur umum.
Setalah itu mereka berjalan terus hingga sampai ditempat yang nantinya dijadikan sebagai pusat ibukota kota.kecamatan Inanwatan. Gabasare dan Mewabii membangun sebuah rumah di Kokusi (Sekarang diduduki oleh masyarakat desaa sibae). Pada saat mereka tiba di tempat itu mereka menemukan sebuah benda hidup yang dalam bahasa Inanwatan disebut Neto narere (sifut pamali). Selanjutnya mereka segera memeriksa tempat yang hendak dijadikan ibu kota kecamatan Inanwatan tersebut.
Pada saat Gabasare dan Mewabii menjajaki hutan tersebut, mereka bertemu dengan Bature (jenis guci), yang dapat berbicara seperti manusia. Suatu ketika disaat Gabasare dan Mewabii sedang menokok sagu, kedua anak mereka sedang asyik bermain. Waktu itu anak dari Gabasare yang bernama Duweao bermain bersama Bature. Kemudian Duweao memetik buah sekantong banyaknya. Satu buah diambil oleh Duweao kemudian dilemparkannya kepada Bature, seketika telinga Bature pecah sebelah karena terkena lemparan buah Daweao itu. Bature menangis sambil berkata dalam bahasa Inanwatan “naere badae” “Telinga saya tidak baik atau rusak.”
Bature berjalan terus menuju laut, kemudian sampai di laut ia lanjutkan perjalanan ke arah kota Sorong. Namun ia tidak bertemu dengan benda-benda yang lainnya. Kemudian ia pergi lagi dari kora Sorong menuju kota Arandai. Tiba di Arandai ia bertemu dengan layar dan sebuah piring besar. Kemudian ia membawa layar dan piring tersebut ke Inanwatan.
Dalam perjalanan dari laut masuk ke pusat kota Inanwatan, Bature dibantu oleh layar dan piring besar untuk menggali sungai Inanwatan yang sekarang kita kenal dengan nama sungai Siganoi.
Oleh sebab itu, kepercayaan masyarakat Inanwatan yang ada di ibu kota Inanwatan kecamatan Inanwatan bahwa sungai itu digali oelh guci, layar dan piring.