SEREFLE
(Versi Tehit)
Tersebutlah Serefle yang mendiami tanah Qoi bersama temannya Qalgomik dan sekutu mereka, Ogitwqarefe. Tempat itu sangat menyenangkan, karena mudah sekali memperoleh makanan dan pekerjaan bagi para penduduk setempat. Namun suatu hal yang sangat menjengkelkan serefle adalah cara Ogitwqarefe membagi hasil pencaharian, seperti ikan, daging babi, sagu dan hasil-hasil lainnya yang selalu tidak seimbang. Qalkomik selalu menerima lebih sedangkan untuk Serefle ia selalu menerima tidak seimbang dengan apa yang di berikan kepada Oqitwqarefe. Dalam hartinya ia berkata, “Sampai hait Oqitwqarefe memperlakukan sahabat karipnya dengan cara demikian”. Hal ini selalu menganggu pikiran Serefle dan menimbulkan rasa dendam terhadap Oqitwqarefe.
Karena tidak sanggup menahan perasaannya, Serefle pergi bersama istri dan anaknya mengungsi ke Sria, yang letaknya di udik kali Sembra. Ia menetap di Sria dan tidak pernah mau menjenguk kedua sahabatnya, yang masih berada di Qoi. Di Sria ia membuka hutan dan berladang sambil berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun demikian sakit hatinya belum juga terobati. Istrinya dalam keadaan hamil tua.
Suatu hari Serefle pergi ke hutan. Di sana ia menemukan sebatang pohon sukun hutan yang telah mati dan dimakan ulat kayu dari akar hingga kedahan-dahannya Ia menandai pohon itu sebelum pulang. Keesokan harinya dengan kapak yang dipikul dibahu, dan koba-koba yang diapitkan diketiak kiri dan anaknya yang disilangkan di pundaknya, menuju hutan tempat kayu yang telah ditandainya kemarin. Setibanya di sana diturunkannya anak laki-lakinya, kapak dan koba-koba.
Dengan menggunakan kapaknya ia memotong daun ‘Awo’, sejenis rotan dan digelarnya di tanah dekat pohon sukun itu. Iapun melayangkan kapaknya pada pohon itu dan menoreh keluar ulat kayu yang ada di dalamnya. Ulat kayu itu diletakan di atas daun awo yang ia siapkan. Melihat apa yang ia dilakukan Serefle, anaknya menirukan hal tersebut. Ia juga memetik daun renat, sejenis daun yang pantang untuk membungkus makanan terutama ulat kayu, ulat sagu dan daging babi. Daun itu digelarnya di atas kubangan babi dekat pohon sukun hutan itu.
Ulat kayu itu kemudian ia bagi-bagikan di atas daun yang digelarnya sambil berkata, “Yang ini untuk saya, yang satu ini untuk bapak, satu lagi untuk mama, dan yang satu lagi untuk… babi yang di dalam kandang, dan yang satu lagi untuk siapa eh… oh, iya… untuk adik yang masih dalam kandungan mama”.
Baru saja kata-kata itu selesai diucapkan, tiba-tiba seekor kanguru melintas dengan membawa pisau sangkutan, semacam pisau yang disangkutkan pada kau dan lebih merupakan kaitan yang dipasangkan pada galah penjolok. Menurut mitos pisau semacam itulah yang digunakan untuk menciptakan air bah, oleh mahkluk bawah tanah, serta malapetaka lainnya. Sementara seekor kura-kura putih muncul dari dalam tanah. Bumi bergetar, gempa, gemuruh dan halilintar sambung-menyambung di siang bolong itu. Tanah terbelah dan pohon-pohon bertumbangan Melihat kejadian yang aneh itu, Serefle bergegas menjauhi tempat itu. Anaknya ia naikkan ke pundaknya, kapak dipikul di bahu dan koba-koba diketiaknya, kemudian segera berlari sekuat tenaga.
Tidak berapa lama kemudian air menyembur tinggi dari dalam tempat kejadian itu lalu merendah dan mengikuti Serefle. Kemanapun ia lari air itu tetap mengikutinya. Ia menaiki bukit dan menuruni lembah, namun air itu tetap mengikutinya. Karena teringat istrinya yang sedang hamil dan babi piaraannya di kandang, Sereflepun berlari pulang untuk memberitahukan kepada istrinya agar pergi menjauhi air bah itu. Namun Serefle tidak dapat melepaskan diri dari kejaran air bah itu.
Rumah tempat istri dan babi piaraannya sudah digenangi air yang terus mengejar sambil mengikuti jejak Serefle. Ia terus berlari tetapi anehnya, makin cepat ia berlari semakin cepat pula air mengikutinya. Hingga di tepi laut. Di sini kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang ikan gelodok sehingga tak sanggup lagi menghindari air bah itu. Serefle berteriak minta tolong, “Oh… tolong saya, oh ikan, oh rotan, oh pohon nipah, tolong…, batu-batu sahutilah kami”.
Sejak itulah tubuh Serefle dan anaknya serta kampak berubah menjadi batu. Hingga sekarang batu itu masih berdiri di muara sungai Sembra serta dinamakan ‘Nawqro’ (lelaki yang tegak berdiri). Sejak itu banyak terdapat ikan di muara sungai ini, serta pohon-pohon bakau dan pohon-pohon nipah tumbuh memenuhi tempat itu hingga sekarang. Sayangnya bukan pohon sagu yang dipanggil oleh Serefle untuk menolong, sebab jika demikian pastilah cukup banyak pohon sagu yang tumbuh.
Air itu terus mengalir dengan derasnya, sehingga menghanyutkan segala sesuatu yang menghadangnya. Oqitwqarefe yang mendiami daerah tepi laut itu juga dihanyutkan. Tanjung-tanjung terputus menjadi pulau, seperti pulau Mbrendie. Pohon nipah dianggap mempunyai hubungan khusus dengan orang-orang Oqitwqarefe. Apabila ada pohon nipah yang layu atau mati, maka orang akan berkata, “Mungkin seorang diantara Oqitwqarefe itu mati”. Konon jumlah pohon nipah di situ sama dengan jumlah orang dalam rumah Oqitwqarefe. Sebaliknya tiap tunas baru yang tumbuh adalah pertanda bahwa seorang bayi lahir dalam rumah Oqitwqarefe.
Air sungai yang mengejar Serefle berwarna biru atau hijau Oleh sebab itulah dinamakan sungai biru atau hijau, yang dalam bahasa Tehit warna hijau dan biru tidak dikategorikan terpisah. Semua orang dan hewan yang digenangi air berubah menjadi batu. Apabila kita berdiri dekat air mancur dekat kali Sembra itu lalu berkata, “Nawqro, aku telah banyak mendengar keindahanmu. Coba perlihatkan ikan-ikanmu padaku”.
Demikianlah sungai Sembra, terjadi karena Serefle dan anaknya menoreh ulat kayu sukun hutan dan meletakannya pada kubangan babi. Demikian halnya tabu bagi perempuan hamil makan ulat kayu pohon, sukun hutan dan babi piara, karena hal tersebut membawa bencana. Orang-orang tua menasihati anak-anaknya agar tidak pendendam seperti Serefle. Mereka juga menganjurkan menolong orang lain, namun harus berusaha agar pertolongan itu tidak sebaliknya mencelakakan orang itu.