Asal Mula Patung Mbis - Cerita Rakyat Merauke

ASAL MULA PATUNG MBIS
(Versi Atsy)

Di udik sungai Sirets hiduplah seorang yang bernama Beorpits bersama istrinya Teweraut dan kedua anaknya. Adapun tempat mereka itu bernama Sitan yang juga disebut Surku. Di hilir sungai itu hiduplah pula dua orang saudara masing-masing bernama Tewer dan Seitakap. Tempat kedua bersaudara itu jauh dari Sitan, lagi pula penuh dengan kesulitan, penderitaan dan peperangan. Sebaliknya Sitan yang juga disebut Surku itu adalah tempat yang aman, damai dan bahagia.

Seitakap adalah seorang periang dan suka membuat gaduh atau ribut. Tetapi Tewer adalah seorang yang tenang, sabar dan tahu mengatur segala sesuatu untuk kepentingan mereka berdua. Pada waktu itu keadaan kampungnya amat gawat, sebab berada dalam keadaan perang. Karena itu pada suatu hari Tewer menganjurkan adiknya supaya jangan membuat ribut sepanjang hari. Baru saja Tewer menasehati adiknya, muncullah seorang asing dengan wajahnya yang sangat ganas. Ia melangkah perlahan-lahan menuju kedua bersaudara itu sambil memperhatikan keadaan sekitarnya. Tiba-tiba ia menyegap kedua bersaudara itu dan segera menombak Seitakap, sedang Tewer lari meloloskan diri. Beorpits segera menyembelih dan memenggal kepala Seitakap dan membawa pulang kembali ke Sitan.
Setibanya di Sitan, Beorpits diterima ibunya dengan girang. Sebgai tanda gembira ibu Beorpits menghambur-hamburkan kapur dan mengundang penduduk kampung Sitan untuk berpesta dan makan daging manusia untuk pertama kalinya. Sementara itu, tengkorak Seitakap diantar ke rumah laki-laki yang disebut Je atau Jeu. Setelah dagingnya dimakan, tulang-tulang Seitakap dibakar ke dalam api. Penduduk Sitan meneruskan pesta dengan menabuh tifa dan menyanyi sambil menari. Tiba-tiba terdengar suatu suara dari dalam api yang menanyakan tentang lagu yang sedang dinyanyikan. Langsung Beorpits menjawab: “kami menyanyi lagu pembunuhan atau daise”. Lalu Seitakap mengajarkan lagu yang sebenarnya, katanya: “seito, ba-bare, ayia bara; bosea-mano bosea-mano sirepa, bosea mano, sirepa bosea-mano”. Adapun artinya adalah sebagai berikut: “Seitakap, Seitakap, kau telah hilang, telah pergi menyusuri sungai Ayi, tetapi kini telah kembali, telah kembali, untuk kami kau telah kembali”.

Lagu ini bersifat larangan dan hanya boleh dinyanyikan oleh kaum tua-tua. Setelah ia mengajarkan hal itu, ia menambahkan bahwa ia sebetulnya tidak mati, tetapi telah pergi ke tampat nenek moyang. Tempat itu ada di seberang laut dan bahwa ia telah sampai ke tempat itu dengan naik perahu dan menyusuri sungai Ayi. Ia juga menceritakan bahwa tempat itu aman dan bahagia. Ia disuruh oleh nenek moyangnya untuk menyampaikan adat istiadat, cara hidup yang baik, dan cara nenek moyang itu dihubungi. Apabila manusia menaati semua yang dipesan oleh nenek moyang, maka nenek moyang akan selalu membantu, ,memelihara dan melindungi serta melimpahkan anugerah-anugerah. Untuk menghubingi nenek moyang, mengundang atau memanggilnya manusia harus mengukir patung seorang manusia yang telah meninggal dunia dan memberi nama kepada patung itu, suatu nama yang sesuai dengan nama yang untuknya patung itu diukir.

Atas petunjuk Seitakap itu, Beorpits dan beberapa orang lainnya pergi menebang sebuah pohon dan mengukir patung ayah Beorpits yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, semua laki-laki dewasa pergi ke hutan mencari kayu untuk mengukir patung, sedangkan wanita dan anak-anak tinggal di kampung Sitan. Ketika kaum pria meninggalkan kampung, para wanita dan anak-anak menabuh tifa sampai kaum pria kembali dari hutan. Kedatangan laki-laki diumpamakan sebagai kedatangan musuh, sehingga kaum wanita mengadakan perang-perangan dengan laki-laki. Setelah itu kayu bakal patung itu diturunkan dari perahu dan dibawa ke dalam rumah jeu. Di dalam jeu itu, mereka harus menyanyi sebuah lagu yang pernah diajarkan oleh Seitakap. Kata-katanya adalah sebagai berikut:

Mbis ndia ipa mbis a waya faimatsi,
yaka ndia ipa mbis mbare,
ndia ipi wasai ndiapia,
pinindia ipa feona fasya ndia ipi,
je mbene oooooo.

Terjemahannya:
Mbis menari dan menyamar dengan hati yang damai, mbis engkau sendiri yang mendahului kami menyamar dan menari tarian yang terpancar dari hatimu, dari kepalamu bergerak menghubungkan tarian yang nampak itu dengan apa yang tak nampak.
Sesudah menyanyi lagu ini, mereka mulai mengukir patung ini secara kasar dengan kampak batu. Pada waktu itu mereka mengukir patung ayah Beorpits yang telah meninggal dunia. Setelah selesai patung itu diukir, mereka pergi menanyakan Seitakap apa selanjutnya yang harus dilakukan. Lalu Seitakap memerintahakan lagi atas nama nenek moyang, supaya patung yang baru saja selesai diukir itu dimandikan dengan darah manusia yang kepalanya harus dipenggal dan dagingnya harus dimakan. Dengan demikian patung itu, menjadi suci dan berkenan kepada nenek moyang. Dengan cara ini, nenek moyang akan datang dan membawa keselamatan dan kebahagiaan kepada manusia yang masih hidup di dunia ini.

Sejak itu, orang Asmat mulai mencari keselamatan dan kebahagiaan hidupnya dengan mengukir patung dan merayakan upacara peringatan orang yang sudah mati. Kemudian patung itu diberi nama Mbis, artinya orang yang telah meninggal dunia atau patung roh orang mati. Hingga saat ini, upacara dan kegiatan yang bertentangan dengan hukum negara dan gereja sudah ditinggalkan.

West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Subscribe Our Newsletter