Cerita Rakyat Sorong - Kisah Keluarga di Desa Asbaken

KISAH KELUARGA DI DESA ASBAKEN
(Versi Kab. Sorong)



Tersebutlah di desa Asbaken, berdiamlah dua orang anak laki-laki bersama orang tuanya yang hidupnya sederhana. Umur anak-anak itu hanya belasan tahun. Penghidupannya hanya diperoleh dari hasil berkebun. Walaupun hidupnya sederhana, kerukunan selalu tetap terpelihara.
Pada suatu ketika terjangkitlah wabah penyakit yang sangat membahayakan penduduk desa Asbaken. Akibat wabah penyakit ini, ayah mereka yang tercinta jatuh sakit lalu meninggal dunia. Betapa sedih hati mereka atas kemalangan yang telah menimpanya. Hari dan bulan telah berlalu. Sang ibu harus bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Namun di balik semua perjuangan hidup itu, maut selalu mengintai dan tiada berapa lama ibu tercintapun direnggut pula oleh maut. Bukan main bertambah sedih dan piluhnya hati kedua anak itu. Kini kedua orang tua kesayangan mereka telah tiada. Terasalah sekarang bahwa mereka benar-benar menjadi anak yatim piatu. Walaupun dalam keadaan demikian mereka mau berusaha, mereka mencoba memintal tali dari kulit pohon genemo untuk dijadikan jerat. Di tengah hutan dipasangnya jerat pada pohon-pohon yang sedang berbuah lebat. Mereka bermaksud hendak menjerat burung-burung. Setelah selesai pemasangan ditungguinya di bawah pohon-pohon tersebut. Sedang duduk-duduk dibawah pohon, tiba-tiba terdengar olehnya bunyi langkah manusia. Diintainya baik-baik dari cela-cela dedaunan, siapakah gerangan yang datang. Mereka sangat heran karena orang yang datang itu wajahnya sama dengan ibunya. Hampir-hampir mereka tidak mempercayai lagi penglihatannya. Menurut kenyataan memang benar, orang yang sedang berhadapan dengan mereka adalah almarhuma ibundanya. Dalam keadaan bingung kedua anak itu serentak bertanya: “benarkah ini ibu kami?” ibunya tersenyum sambil memberikan sagu bakar yang berada di tangannya. ”Ibu hendak kemana?” tanya si bungsu. “kalau ibu hendak ke kebun hati-hati, sebab di sana banyak ditanam bambu runcing,” kata yang sulung. Ibunya hanya mengangguk sambil melanjutkan perjalanannya. Kedua anak itu tidak sampai hati melepaskan ibunya pergi yang hanya sebentar saja bertemu.
Dibandingkan dengan masa lampau, keadaan yang dialaminya sekarang sangat menyedihkan. Dalam saat mereka termenung, sayup-sayup kedengaran dari jauh suara yang mengerikan. Suara itu benar-benar suara ibunya. Sekejap itu juga mereka berlari menuju tempat dimana suara itu datang. Setiba di sana keduanya heran karena semula kedengaran seperti suara manusia, tetapi kenyataannya di depan mereka tampaklah seekor babi yang sedang memberontak untuk melepaskan diri dari tikaman bambu-bambu runcing. Dari seberang kebun datanglah seorang yang bersenjatakan busur dan panah. Ketika tiba dengan segera ia memanah babi itu tepat pada sasarannya dan matilah seketika. Sesudah diikat lalu dipikulnya dan dibawa pulang ke desa. Dari balik pohon anak-anak saling berpandangan, seakan-akan tidak mempercayai segala sesuatu yang telah disaksikannya. Mereka berpendapat bahwa ibunyalah yang menjelma menjadi babi dan dialah yang dibunuh tadi. Dengan perasaan sedih keduanya kembali meninggalkan tempat itu.
Haripun telah senja. Di sana sini kedengaran kicauan burung-burung yang beterbangan pulang ke sarangnya. Suara jengkrik pun bersahut-sahutan juga. Setiba di desa, trcium oleh mereka bauh babi yang dibakar. Selain itu terdengar pula gema tifa dengan lagu dan sorak-soraian dari penduduk desa. Rupanya penduduk desa sedang mengadakan pesta bakar babi. Mereka enggan memasuki rumah, lalu pergi duduk-duduk di bawah pohon. Sedang duduk-duduk datanglah seseorang memanggil mereka: “Hai, anak-anak mari makan daging babi!” Kedua anak itu tidak menghiraukan panggilan tadi, karena babi yang dibakar itu adalah ibu mereka. Namun orang itu terus-menerus mendesak, akhirnya mereka berterus terang serta menjawab: “daging babi yang kamu makan itu bukanlah babi yang seenarnya. Kami baru saja menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Sebenarnya ibu kami yang menjelma menjadi seekor babi dan kemu telah membunuhnya. Jadi betapapun enaknya, sedikitpun kami tidak dapat mengecapnya.
Orang yang memanggiltadi kebingungan lalu kembali ke tempat pesta serta menyampaikan berita itu kepada teman-temannya. Orang-orang mendatangi kakak beradik itu serta mengatakan bahwa babi yang dimakannya adalah benar-benar seekor babi hutan. Sebagai bukti diperlihatkan kepada orang-orang sagu bakar yang pernah diberikan oleh ibunya, sewaktu mereka memasang jerat dihutan. Namun seorang tidak mempercayai lagi perkataan anak-anak itu, bahkan mengolok-olok dan mnertawakan mereka karen dianggap sudah gila.
Dalam gemuruh olokan itu tampillah kakaknya ke depan serta berkata: “jika kalian tidak percaya kepada kami, baiklah kita pertandingkan saja. Barangsiapa yang tepat menombak pelepa sagu ini, dialah yang benar”. Pertaruhan ini disetujui oleh kedua belah pihak. Penduduk desa diwakili oleh seorang yang termahir sedangkan kedua anak ini diwakili oleh kakaknya. Pelepah sagu sudah dipersiapkan dan pertandingan segera dimulai. Yang mewakili penduduk desa bersiap, kemudian berlari serta melemparkan tombaknya ke arah pelepah sagu. Tetapi sayang tidak kena pada sasarannya. Sekarang tiba giliran kakaknya. Hati para penonton berdebar-debar dan penuh tanda tanya, siapa gerangan yang akan menang? Dengan tenang kakaknya mengambil ancang-ancang, kemudian berlari sambil melemparkan tombaknya dan ………………trak! Tepat kena pada sasarannya. Semua penonton bertempik-sorak, karena kagum demi melihat kecakapan anak itu dalam melemparkan tombaknya. Pertandingan sudah selesai semua orang bubar.
Kini baru terbukti kebenaran kedua anak itu. Dengan kemenangan ini maka banyak penduduk desa yang pulang ke rumah dengan hati kesal, karena telah memakan daging manusia.
West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter