Air Bah - Cerita Rakyat Raja Ampat

AIR BAH
(Versi Palli)



Dahulu kala ada dua orang raja laut bersaudara, bernama: Lipbin dan Lipman. Mereka bertempat tinggal di pulau Senapang, yang dalam bahasa Palli dialek Fiawat (Banlol) disebut Duf. Pada mulanya pulau itu bernama Eslemen. Di daratan pulau Salawati pada gunung Yelmul, berdiam pula dua nenek bersaudara bernama Elel dan Serip. Kedua nenek itu adalah penghuni daratan sedangkan Lipbin dan Lipman adalah penghuni laut.
Pada suatu ketika, Lipbin dan Lipman melihat adanya gejala-gejala pasang naik besar. Kedua raja laut itu berseru kepada penghuni daratan: “Berjagalah! Pada hari ini air bah besar akan menutupi pulau ini”. Dari kejauhan Elel dan Serip mendengar seruan itu. Mereka segera mempersiapkan diri menghadapi air pasang besar. Makin lama air makin naik menggenangi tempat-tempat yang rendah. Kemudian perlahan-lahan air itu naik terus menuju gunung-gunung dan bukit-bukit. Sesaat air bah naik, banyak isi laut yang turut naik pula. Diantaranya ada seekor penyu besar dan seekor ikan paus. Dalam bahasa Banlol penyu disebut Yetop, dan ikan paus disebut rata-subata. Kedua makhluk itu kandas di atas gunung Werenay di tempat yang bernama Yelmul, di mana Elel dan Serip tinggal. Elel dan Serip menyaksikan kedatangan yetop dan rata-subata, tetapi mereka tak dapat berbuat sesuatu. Pada saat itu pulau Salawati digenangi air bah besar. Semua makhluk didaratan tertelan air laut. Elel dan Serip menyelamatkan diri di sebuah perahu yang sudah disiapkan. Mereka terapung-apung di atas pegunungan Werenay.
Tiada berapa lama air bah mulai surut kembali. Elel dan Serip gembira, sebab mereka sudah selamat. Mereka turun dari perahu dan berjalan-jalan kesana kemari menyakdikan keadaan sekitarnya. Elel mengambil sepotong kayu untuk menghalau Yetop dan Rata-subata. Yetop berhasil keluar mengikuti air surut dan kembali ke laut. Sedangkan rata-subata tidak dapat turun karena badannya terlalu besar dan air terlanjur kering. Terpaksa rata-subata kandas dan tinggal di atas gunung Werenay sampai sekarang ini berupa sebuah batu besar berbentuk ikan paus.
Setelah air bah kering, di pulau Salawati berubah sekali keadaannya. Tidak ada sesuatu yang dapat memberikan kehidupan kepada manusia. Tidak ada bahan pangan lain, kecuali hanya du ajenis makanan yang bernama Botom dan en. Waktu itu tidak ada api dan tumbuh-tumbuhan yang lain. Sagu belum ada sama sekali. Di tempat itu hanya terdapat satu pasang pohon. Pohon yang laki-laki bernama Aibel dan pohon yang perempuan bernama Aisum. Demikian juga tali. Hanya terdapat satu pasang. Tali laki-laki bernama Sener dan perempuan bernama Jiwum.
Akibat air bah besar itu pulau Salawati menjadi tandus. Kecuali Elel dan Serip, seluruh makhluk yang lain di bumi hancur. Kerena keadaan yang demikian itu, Elel dan Serip harus bekerja keras untuk menyambung hidupnya. Mereka mencari jalan kesana kemari agar kehidupan di pulau Salawati kembali makmur seperti sedia kala. Elel dan Serip berpikir, “Ya, hanya ada dua jenis makanan, tetapi bagaimana memasaknya?”.
Tindakan mereka pertama-tama ialah meminta api kepada orang yang di atas (Tuhan). Kemudian Serip berdoa” “Ya Allah, berikan kami api”. Lalau tidak lama kemudian Tuhan menurunkan kayu penggosok api bernama Yaifoy. Dengan Yaifoy, Elel mulai menggosokkannya pada kayu yang kering lalu api pun menyala. Api tersebut diberi nama Lap Besih. Kayu yafoy itu masih ada sampai saat ini. Tindakan kedua dari Elel dan Serip adalah mencari makanan. Tapi harus minta kepada siapa?. Seingat mereka, di tanah besar ada seorang nenek bertempat tinggal di Yel Sarun bernama Tabo. “lebih baik kita minta makanan kepada nenek Tabo di Yel Sarun”, pikir mereka. Kemudian Elel dan Serip memanggil nenek Tabo di Yel Sarun dari Yel Mul, “Oh, kawan, berilah kami makanan. Sekarang kami di Salawati sudah tidak mempunyai makanan lagi”. Nenek Tabo menyahut, “kawan, tunggu sebentar. Saya akan pergi kesana membawa tanaman (makanan) untuk kamu”. Oleh karena Yel Surun dan pulau Salawati dipisahkan oleh laut yang cukup lebar, maka nenek Tabo memerlukan jembatan  untuk menghubungkan kedua tempat itu. Nenek Tabo meminta jembatan kepada orang yang dilangit, “Oh, Tuhan, turunkan jembatan kepada saya”. Tuhan menjawab: “siapakah yang mohon itu? Tunggulah sebentar”. Tidak lama kemudian Tuhan datang dari ufuk timur dengan membawa jembatan. Jembatan itu diletakkan sebagai penghubung Yel Sarun dan Yel Mul. Nenek Tabo menyebut jembatan itu Remjom. Sedangkan Elel dan Serip menyebutnya Sum. Nenek Tabo di YEl Surun menyiapkan bibit-bibit sagu dan semua perlengkapan untuk mengola sagu yaitu penokok sagu dan kapak. Penokok itu bernama Wer dan kapak bernama Pay. Pada hari yang direncanakan, ia pergi membawa semua perlengkapan itu menuju ke Yel Mul. Kedatangannya disambut gembira oleh Elel dan Serip. Setelah ketiganya bersalam-salaman dan bergembira ria, nenek Tabo menjelaskan tentang fungsi dan manfaat semua perlengkapan yang dibawanya itu. Dan kemudian nenek Tabo sendiri menaburkan benih-benih sagu. bIbit sagu yang pertama ditaburkan nenek Tabo barnama Da. Sagu kedua bernama Lasta, ketiga Daida, keempat Biya, kelima Trebe dan terakhir Kebe.
Sesudah nenek Tabo menghamburkan bibit sagu itu, ia segera pulang ke tempat tinggalnya di Yel Sarun. Elel dan Serip sangat gembira karena mereka sudah mempunyai banyak sagu yang akan menghasilkan makanan yang melimpah ruah. Ternyata masih kurang satu hal lagi yaitu air untuk meremas sagu. Mereka harus minta lagi kepada Tuhan. Tuhan mengabulkan permintaan mereka dengan membuat dua buah sungai. Sungai pertama disebutnya Weibuy, sungai kedua bernama Purat. Purat dalam sebutan Palli dialek Fiawat disebut Weijam Karmoi. Sekarang dikenal dengan nama kali Waijan.
Elel dan Serip tinggal menjaga dan memelihara semua usaha yang sudah ada. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Semua tanaman sagu sudah berkembang dengan suburnya hingga akhirnya tiba masa panen pertama. Elel dan Serip bersepakat untuk memulai dengan memungut hasil sagu.
Pada suatu hari yang sudah direncanakan, mereka pergi ke kebun sagu. Elel dan Serip membawa kapak Pay dan penokok Wer untuk mengolah sagu. Di[pilihnya sagu yang sudah tua. Keduanya saling bergantian menebang sagu itu. Setelah rebah di atas tanah, sagu tersebut mulai dibelah dan ditokok, dibawa ke tempat meramas lalu mereka meramas secara bergantian. Air tempat ramasan sagu itu bernama Landula, sedangkan timbunan ampas sagu yang sudah diramas disebut Bokulon yang artinya tempat ramas sagu. Ampas ramasan sagu itu sekarang merupakan sebuah bukit yang bernama Bokulon.
Semua bukti-bukti tersebut masih ada sampai sekarang termasuk dusun di daerah kal Waijan yang sangat terkenal sebagai tempat sagu terbesar di pulau Salawati dewasa ini. Perlu ditambahkan bahwa hasil sagu dari kali Waijan mempu memenuhi kebutuhan sagu seluruh kepulauan raja ampat bahkan juga kebutuhan di kota Sorong. Demikianlah maka pulau Salawati kemudian dikenal juga dengan nama Yefbiy artinya pulau sagu.
Hingga saat ini Elel dan Serip dianggap sebagai nenek moyang penduduk Salawati yang sangat berjasa bagi penduduk Salawati khususnya dan penduduk kepulauan Raja Ampat pada umumnya. Dan kini Salawati mempunyai potensi hasil hutan dan mineral yang sangat besar yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia.

West Papuan
Ayah dari dua anak, menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter