PUTRI BUNGSU DARI DANAU
( Baliem Lembah )
Pada zaman dahulu kala di lembah Baliem terdapat sebuah danau yang luas serta dihuni berbagai jenis ikan. Di pinggiran danau tersebut ditumbuhi berbagai jenis pepohonan rindang hingga menyelimuti daerah tepian danau. Menurut cerita nenk moyang, manusia pertama yang menetap di tempat tersebut adalah seorang laki-laki, yang diperkirakan merupakan keturunan dewa. Nama laki-laki itu adalah Humpa. Humpa adalah laki-laki perkasa bertubuh tegap dan tinggi. Wajahnya tampan hingga memikat setiap mata yang menatapnya.
Mula-mula Humpa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hanya dengan memakan daun-daun paku dan ikan yang terdapat di danau tersebut. Lama kelamaan, ia pun sadar bahwa cara hidup yang demikian tidak bisa dipertahankan. Timbullah keinginan untuk menanam sesuatu yang nantinya bisa dimakan. Diambilnya merambas perdu dan tumbuhan menjalar di pinggiran danau hingga daerah sekitarnya tampak bersih. Setelah dibiarkan beberapa hari lamanya perdu menjadi kering, lalu dibakar dan mulailah ia menggali tanah.
Sejak pertama Humpa sempat menyelesaikan beberapa bedengan, hingga senja tiba iapun pulang ke rumah (Honay). Di malam hari ia tidak bisa tidur karena memikirkan kebunnya. Tanpa diduga pada saat yang sama kebunnya sudah ditanami oleh lima orang putri penghuni lembah Baliem.
Pagi harinya Humpa pergi kembali untuk melanjutkan sisa pekerjaannya. Setelah tiba di tempat itu ia terkejut karena melihat kebunnya telah ditanami ubi jalar. Ia heran, dalam hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan yang menanam ubi jalar tersebut. Semakin banyak ia berpikir semakin banyak dugaan tentang pelakunya. Ia berpikir jangan-jangan jin yang berkuasa di tempat itu tidak merestui pekerjaannya.
Walau demikian, hal itu tidak mengendorkan semangatnya. Akhirnya ia mulai lagi melanjutkan pekerjaannya. Setalah pekerjaannya selesai, ia segera mengumpulkan rumput kering sebanyak-banyaknya untuk dijadikan tempat bersembunyi.
Ketika malam telah tiba, Humpa masuk ke dalam timbunan rumput kering itu sambil menunggu kedatangan si penanam ubi jalar itu. Setelah larut malam tiba, Humpa mendengar suara bercakap-cakap dan tawa yang datangnya dari arah danau. Ternyata dugaannya tidak salah, suara tertawa riang itu adalah suara perempuan. Humpa cepat-cepat mengintip dari celah rumput, tempat ia bersembunyi. Nampaklah dari dalam danau muncul lima putri yang masing-masing membawa seikat batang ubi jalar di tangannya. Dalam kegirangan, mereka tidak menduga bahwa ada orang lain yang sedang mengintip mereka.
Karena takut kesiangan, kelima putri itu segera menanam ubi jalar pada bedeng-bedeng yang telah diselesaikan Humpa. Melihat kejadian itu, jantung Humpa berdenyut lebih cepat. Timbul keinginan untuk memiliki putri bungsu yang sangat cantik. Dengan demikian, saat itu juga timbul keinginan untuk menangkap putri bungsu.
Ketika mendapat kesempatan yang baik, Humpa segera menangkap putri bungsu, sedangkan kaka-kakanya berlarian masuk ke dalam dasar danau kembali. Tinggallah putri bungsu dalam pelukan Humpa. Putri bungsu berusaha mejelmah menjadi ular, namun usahanya sia-sia belaka sebab walaupun ia menjelmah menjadi ular, Humpa tetap memeluknya erat-erat. Setelah menyadari bahwa usahanya sia-sia belaka, maka kembalilah ia pada rupa semula.
Gadis yang cantik jelita. Memang rupa seperti putri bungsulah yang dicari Humpa. Dalam pelukan Humpa, putri bungsu menangis tersedu-sedu minta dikasihani agar Humpa melepaskannya kembali ke danau untuk bertemu dengan keluarganya. Namun, Humpa tidak mengabulkan permintaan putri bungsu. Ia tetap menginginkan putri bungsu menjadi istrinya. Kalaupun keinginannya ditolak, tantangan jiwa putri bungsu akan berpisah dengan jasadnya.
Dengan rasa berat hati putri bungsu menerima pinangan Humpa, tetapi dengan syarat setelah memperoleh beberapa orang anak, ia diperbolehkan kembali ke dalam danau. Bila permintaan ini ditolak, maka putri bungsu lebih suka memilih kematian. Hal tersebut dilakukannya karena jika tidak diperkenankan kembali kepada orang tuanya, maka mereka akan murka dan menghancurkan permukaan bumi termasuk Humpa dan keturunannya.
Setelah mendengar penjelasan putri bungsu yang cukup beralasan itu, maka humpa pun menerima usulnya. Selanjutnya Humpa bersama putri bungsu pulang ke Honainya dan disana mereka hidup sebagai suami istri. Karena adanya saling pengertian, akhirnya rumah tangga mereka aman, tentram dan sentosa.
Dari hasil perkawinan mereka lahir seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Sebelum anaknya yang keempat lahir, putri bungsu minta kepada suaminya agar Humpa pergi berburu selama sembilan hari. Namun pada hari yang kesembilan Humpa harus sudah berada di rumah. Humpa tidak menolak permintaan istrinya. Ia menyadari bahwa masa perpisahan dengan istrinya semakin dekat. Juga ia merasa bahwa istrinya pun sudah sangat rindu dengan orang tuanya maupun dengan kakak-kakanya. Ia sudah ingin kembali ke dasar danau, istana orang tuanya.
Selama sembilan hari Humpa berusaha untuk memperoleh hasil buruan yang sebanyak-banyaknya, dan usahanya terkabul. Hasil buruannya sangat banyak.
Ketika tiba di rumah, ia sangat gembira, karena selain permintaan istrinya dapat dipenuhi, istrinya pun telah melahirkan seorang anak laki-laki yang gagah. Ibu dan anak sehat walafiat. Dari hasil buruannya, humpa mengadakan pesta di dalam rumah sebagai tanda ucapan syukur atas kelahiran anak, juga sebagai tanda perpisahan dengan istrinya.
Apa yang dibayangkan Humpa benar-benar terjadi. Beberapa hari kemudian, putri bungsu meninggalkannya juga keempat anak mereka di pinggir danau dan ia kembali ke dasar danau untuk berkumpul dengan orang tua beserta kakak-kakaknya.
Demi kesejahteraan dunia beserta kelanjutan turunan, Humpa iklas melepas kepergian istrinya yang sangat dicintai dan sudah bertahun-tahun hidup berdampingan. Akhirnya, tinggallah Humpa beserta keempat anaknya di tepi danau Baliem, demi melanjutkan kelangsungan anak cucunya.