ULAR MEMPERANAKAN MANUSIA
(Yapen Selatan)
Tersebutlah bahwa asal usul penduduk kampung Mariadei adalah dari sebuah lembah dekat gunung Wendeti. Semula mereka memelihara dua ekor anjing. Tetapi sewaktu-waktu kedua anjing itu bisa mendatangkan bahaya yang menimpa penduduk kampung, yaitu apabila kedua anjing itu meraung dan barang siapa yang mendengar suaranya pasti meninggal. Akibat perbuatan kedua ekor anjing tadi, menyebabkan jumlah penduduk semakin berkurang. Terpaksa mereka mengungsi ke gunung-gunung dan pesisir pantai untuk meluputkan diri dari bahaya itu.
Beberapa tahun kemudian ada dua orang suami istri yang bernama Yamborga dan Wombai. mereka berasal dari keluarga Patuma yang mendiami lembah Rurui Kamainai. mereka ingin sekali bertemu kembali dengan sanak saudaranya yang sudah lama terpencar di hutan-hutan gunung Wendeti. Namun dalam pencariannya tak seorangpun dijumpainya.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai kecil. Sedang mereka menyusuri sungai itu sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi kecil. Dicarinya suara tangisan tadi ke sana ke mari. Akhirnya terlihatlah seorang bayi yang terbaring di atas sebuah batu besar. Dengan keheranan keduanya mengamati bayi itu, sambil memperhatikan pula keadaan sekelilingnya, tapi tak nampak seorang pun. Rupanya bayi itu dilahirkan oleh seekor ular. Kebetulan ular itu sedang pergi ke sungai hendak mengambil air untuk anaknya. Ular itu diberi nama Woroi.
Wombai segera mengangkat bayi itu, lalu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan si bayi menangis terus-menerus, tetapi selalu dihibur dengan menyanyikan beberapa lagu daerah yang mengisahkan tentang ular Woroi. Demikianlah syair lagunya :"Tawai Woroi rerorau dangkuni marea wawai kumu marea." Artinya :"Ular Woroi pergi ke sungai hendak mengambil air untuk anaknya." Bila lagu ini dinyanyikan maka sang bayi menjadi tenang dalam dekapan Wombai. Tetapi kemudian ia kembali menangis lagi. Kembali pula keduanya menyanyikan sebuah syair lagi yang isinya mengenai daun kafafiroansau untuk pembungkus bayi. Syairnya adalah sebagai berikut:
Warang kafafiwo warambai tawamainewi
Tawai usi Wori antumainei
Antu woi wori
Artinya:
Tangan memetik daun perahu untuk menggendong anak ular.
Sebentar saja bayi menjadi tenang dan tertidur kembali dengan nyenyaknya. Alangkah girang hati suami istri itu ketika tiba kembali di kampungnya. Bayi itu diserahkan kepada istri Wanawai yang baru saja melahirkan. Sejak saat itulah anak itu hidup di tangan keluarga Wanawai. Setiap hari anak itu dan anak Wanawai diasuh oleh istri Wanawai dengan penuh kasih sayang.
Tersebutlah sang ular Woroi ketika kembali dari sungai tidak menemui anaknya, maka dicarinya kian ke mari namun tidak ditemukannya. Tetapi tiada berapa lama kemudian didapatnya jejak-jejak kaki manusia, lalu diikutinya. Tiada berapa lama ulat Woroipun tiba di kampung tadi. Ia sudah tahu bahwa anak kesayangannya ada di rumah keluarga Wanawai. Pada malam harinya sementara penduduk kampung nyenyak dalam peraduannya, menjulurlah sang ular ke rumah Wanawai. Di dalam rumah sang ular melihat anaknya ditidurkan di samping kiri sedangkan di sebelah kanan anak Wanawai sendiri. Kedatangan ular sedikitpun tidak diketahui oleh penghuni rumah. Dengan rasa kerinduan hati ia membelit anaknya sendiri. Sejurus kemudian anaknya bergerak-gerak karena kedinginan. Kesempatan ini segera dipergunakan Woroi untuk berbisik ke telinga anaknya: "Namamu adalah Korowei Mainei Woiwori. Bilamana sudah dewasa kau boleh kawin. Selama hidupmu janganlah sekali-kali mencoba untuk memanjat pohon, baik itu pohon yang tinggi ataupun yang rendah. Bilamana tidak mematuhi pesanku ini, akibatnya kau akan jatuh dan menemui ajalmu." Setelah memberikan pesan maka tidurlah ia bersama anaknya, tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi atas dirinya.
Menjelang dinihari istri Wanawai terjaga karena anaknya menangis. Pada saat itu pula terlihatlah oleh istri Wanawai bahwa anaknya yang satu sudah dibelit ular besar. Ketika itu juga melompatlah ia dengan membawa anak kandungnya serta berteriak kepanikan. Dalam sekejap saja baik penghuni rumah maupun penduduk kampung jadi gempar lalu berdatanganlah mereka hendak menyaksikan apa gerangan yang telah terjadi di dalam rumah Wanawai. mereka menjadi heran melihat ular itu. Ada beberapa orang mengatakan bahwa ular pasti melepaskan bayi itu bila ditebus dengan sesuatu yang berharga. Keluarga Wanawai segera mengeluarkan harta sebagai barang tebusan. Pertama kali diberikan sebuah piring besar, tetapi rupanya sang ular tak mau menerimanya. Sebagai pemberian kedua ditunjukan sebuah gelang bermanik-manik yang dianyam berwarna warni tetapi nampaknya sama saja seperti semula. Pemberian berikutnya adalah sebuah paseda (gelang kaca). Ketika sang ular melihat gelang itu, perlahan-lahan ia melepaskan belitannya. Paseda tadi dimasukan melalui kepalanya, lalu terluncur dan tersangkut dengan ketat pada bagian badanya yang besar. Akhirnya Woroi dapat meninggalkan anaknya dengan damai pada keluarga Wanawai dan ia pergi dengan suka hati.
Hari, bulan, dan tahun telah berlalu. Perkembangan anak ular itu semakin besar. Selama hidupnya ia selalu dicintai oleh ibu angkatnya bahkan seisi kampung menyukainya. Ia memang seorang anak yang cakap dan rajin. Ia sanggup mendirikan rumah, berkebun dan berburu. Pokoknya setiap pekerjaan yang diberikan selalu berhasil dan memuaskan bagi penduduk kampung. Karena kecakapan dan kerajinannya dengan diam-diam terpikatlah seorang gadis yang bernama Ucendi. Gadis itu adalah gadis yang tercantik di kampung itu, maka Koroweipun jatuh cinta padanya. setelah Korowei dewasa perkawinannya pun segera dilangsungkan dengan gadis idamannya tadi. Pasangan ini hidup dengan penuh kasih sayang. Tak ada sesuatu yang menyulitkan kebahagiaannya. Namun di balik semua kesenangan dan kebahagiaan ada pula penderitaan dan kesusahan.
Tersebutlah pada suatu hari yang cerah, sang mertuanya mengajak suami istri itu pergi bersamanya ke kebun. Setibanya di kebun mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Sedang duduk-duduk terlihatlah oleh mertuanya sebuah pohon genemo yang sangat lebat pucuknya. Karena ingin memakan daun-daun muda ini, disuruhnya Korowei untuk memanjat dan memetik semua pucuk muda itu. Sesaat lamanya Korowei menundukkan kepala demi mendengar kata-kata itu. Pikirannya bingung sebab ia teringat nasihat ibunya. Tetapi karena merasa malu terhadap mertuanya, terpaksa ia melaksanakan permintaan itu tanpa berkata sepata kata pun. Sedang Korowei memanjat sang istri tetap mengawasinya. Ia sudah berpegang pada dahan pohon, tetapi tiba-tiba dahan yang dipegangnya patah dan iapun jatuh ke tanah. Ucendi berteriak serta berlari ke pohon itu dan memeluk tubuh suaminya yang sudah berlumuran darah kemudian meratapi dengan sedihnya. Sungguh sangat mengerikan karena pada saat itu juga Korowei menemui ajalnya. Dengan perasaan sedih Ucendi bersama ibunya membuat sebuah usungan untuk mengangkat mayat Korowei ke kampung.
Setibanya di kampung penduduk menjadi gempar karena kematian Korowei yang mendadak itu. Kemalangan ini membuat hati Ucendi hancur luluh. Akibatnya Ucendi tak dapat lagi mengatasi kesedihannya, maka iapun meninggal pula menyusul suaminya yang sangat dicintainya. Semua penduduk kampung turut berduka cita atas malapetaka yang menimpa Korowei dan Ucendi.
Demikianlah nasib Korowei yang tidak patuh pada pesan ibundanya.