ASAL USUL BURUNG CENDERAWASIH
(Yapen Barat)
Pada zaman dahulu di tengah hutan gunung Rongkwri, tumbuhlah dua batang pohon kayu yang masing-masing bernama Marang dan Anambing.
Kedua pohon itu tumbuh bersilang sehingga apabila angin bertiup, kedua kayu itu bergesekan dan menimbulkan suara yang cukup mengesankan. Makin lama kedua pohon itu tumbuh makin tinggi dan gesekannya semakin kuat sehingga lama kelamaan kedua kayu itu menjadi tipis dan akhirnya patah. Dari patahan itu masing-masing keluar seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang lelaki menamakan dirinya Asari dan yang perempuan bernama Woramanami.
Setelah beberapa lama Asari dan Woramanami kawin dan mereka tinggal di sebuah goa. Goa itu namanya goa Bayowan. Mata pencaharian mereka sehari-hari adalah berkebun. Mereka sangat rukun dan damai. Tiada beberapa lama dari perkawinan mereka lahirlah seorang anak lelaki yang dinamainya Sikowai. Makin lama Sikowai menjadi besar dan giat membantu orang tuanya.
Pada suatu hari Sikowai pergi menokok sagu di Kapamaupi. Sementara Sikowai menokok sagu ia mendapat berita bahwa orang tuanya mendapat bia garu besar. Nama bia itu Royam.
Sikowai pergi mendapatkan orang tuanya itu di kepala air Papuma. Mereka menemukan bia garu itu ketika mereka hendak mandi. Ramai-ramai mereka menarik bia itu dengan rotan Pawoya ke dekat goa. Setelah sampai mereka cepat-cepat membelah, memotong dan membakar daging bia garu itu. Orang-orang goa Bayowan bersorak sorai kegirangan karena mereka menemukan rejeki yang besar. Untuk menguji daging bia beracun atau tidak, maka sepotong daging yang sudah dimasak diberikan kepada anjing. Nama anjing itu Ubami. Setelah anjing memakan daging itu anjingpun mati. Sebagian orang merasa khawatir tetapi beberapa orang di antaranya menganggap karena anjing itu binatang sehingga ia mati. Untuk manusia anggapannya tidak apa-apa. Oleh karena bau daging bakar itu menyebar dan warnanya menimbulkan selera, sambil bersorak sorai mereka ramai-ramai memakan daging bia itu.
Tiada berapa lama semuanya ikut memakannya dan merasa nikmat. Tetapi beberapa menit kemudian mereka merasa pening-pening dan satu demi satu mulai rebah dan tidak ada yang berdiri lagi. Akhirnya semua mati keracunan tak ubahnya seperti anjing Ubami.
Di sana-sini tampak mayat bergelimpangan. Hanya yang terdengar sayup-sayup dari dalam goa adalah tangis bayi. Rupanya bayi itu ditinggal pergi oleh ibu bapaknya, ketika mereka berpesta pora memakan daging bia itu. Adapun nama bayi itu Wowoi.
Tak lama kemudian secara kebetulan lewatlah seorang gadis muda hendak ke kali. Nama gadis muda itu Windei. Ia berasal dari kampung Kaiwari di tanjung Roareng. Windei sangat heran melihat manusia yang bergelimpangan itu. Sementara menyaksikan mayat-mayat itu tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi yang tak henti-hentinya.
Dengan ragu-ragu ia menjenguk ke pintu goa tempat suara bayi itu keluar. Tangis bayi itu semakin jelas. Windei makin berani masuk ke dalam goa dan tampaklah olehnya seorang bayi laki-laki yang menggapai-gapai dengan lucunya.
Alangkah sehatnya bayi itu. Siapapun yang melihatnya pasti akan tertarik. Apalagi Windei adalah gadis yang sayang akan bayi. Dengan segera Windei mengulurkan kedua tangannya mengangkat bayi itu dan memeluknya. Tiba-tiba tangisan bayi itu terhenti. Windei berpikir sebentar, kemudian dengan segera meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Maka segera ia pun menuju pintu keluar tanpa menghiraukan mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Windei berjalan terus dengan perasaan gembira. Ia tidak mau kembali ke kampungnya sendiri. Ia ingin hidup di tempat yang baru bersama bayi itu. Akhirnya ia mendapat tempat yang cocok, aman dan jauh dari kampung-kampung lainnya. Windei dengan anak angkatnya hidup sentosa. Wowoi makin lama makin besar, wajahnya tampan dan kekar. Windei mengajar anak itu berburu di hutan. Ibunya makin sayang karena Wowoi semakin dewasa dan pandai pula membantu ibunya. Setiap hari mereka tak pernah kekurangan makanan karena hasil buruan Wowoi. Sekarang sudah menjadi kesenangan Windei untuk tetap bersama-sama Wowoi berburu ke hutan. Kalau Wowoi berburu dengan tangkasnya Windei memperhatikannya dengan kagum. Akan tetapi lama kelamaan Windei ingin mempersuamikan Wowoi. Memang Windei belum tua dan masih pantas bersuamikan Wowoi. Apalagi hidup mereka terpencil dari kampung.
Wowoi semakin dewasa dan Windei belum pernah mengenyam kebahagiaan dengan suami. Windei menunggu-nunggu kapan saatnya yang baik untuk merayu Wowoi agar Wowoi ingin memperistrikan Windei.
Pada suatu hari mereka berburu ke hutan. Wowoi naik ke sebatang pohon untuk mengintai kus-kus, sedangkan Windei berada di bawah pohon. Tiba-tiba Windei memanggil Wowoi dan apa yang terlihat oleh Wowoi ? Wowoi sangat terkejut melihatnya karena Windei berguling-guling sambil melepaskan sidakonya (cawat). Windei berulang-ulang memanggil Wowoi untuk turun dan berhenti berburu. Wowoi merasa heran dan bingung, ia terpaku melihat kelakuan Windei. Kemudian Wowoi memahami apa yang Windei inginkan. Tetapi perasaan anak terhadap ibunya lebih tebal daripada seorang laki-laki kepada perempuan. Batinnya berperang antara sifat jantan dan sifat hormat kepada ibu yang telah membesarkannya. Wowoi meminta petunjuk kepada Yang Maha Mengusai Alam untuk menentukan sikapnya. Tuhan ternyata mengabulkan permohonan Wowoi untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak senonoh itu. Maka atas petunjuk Yang Maha Kuasa Wowoi melakukan gerak-gerik yang aneh pula. Ia memasang anak panah masing-masing dua batang pada bagian belakangnya. Noken tempat hasil buruan dirobeknya menjadi dua yang sama lebarnya. Diikatnya sobekan noken itu pada panah yang dipasang di bagian belakang itu, seakan-akan sepasang sayap kiri dan kanan. Setelah itu satu batang anak panah lain ditusukannya pada hidungnya yang seakan-akan menyerupai paruh burung. Dengan perasaan sedih Wowoi berkata: "Wahai ibuku, Windei, aku tak sampai hati berbuat yang tidak senonoh, aku tak ada harapan sebagai manusia lagi. Aku mohon maaf sebesar-besarnya karena tidak dapat memenuhi keinginan ibu. Terima kasih pula atas jasa-jasa ibu selama ini. Selamat tinggal."
Dan setelah itu ia tidak dapat berbicara lagi, tapi suara 'Wookeee'. Wowoi berganti rupa menjadi seekor burung yang indah, dan terus terbang meninggalkan Windei seorang diri. Burung yang indah itulah burung Cenderawasih yang hingga sekarang sebagai kebanggaan.